Byurr..
Cairan pembersih dipercikkan pada kaca depan mobil yang berhenti di
lampu merah. Spons disapukan ke kiri ke kanan. Hujan dengan kompak membasuh
sisa-sisa busa yang mengikat debu itu. Kemudian tangan kecil mengetuk jendela. Pemilik
mobil membuka sedikit kaca jendelanya dan menyelipkan kertas bergambar
Pattimura.
Belum satu dasawarsa bocah-bocah kecil mengecap kehidupan. Tapi pahit
getirnya tampak tergaris di telapak tangan mungilnya. Bibir bergetar, sekujur
tubuh basah, dan tangan kanannya menggenggam spons berbusa. Hujan dan lampu
merah menjadi sahabat terbaik.
“Pekerjaan” ini cukup mudah untuk dilakukan karena hanya bermodal
cairan pembersih kaca dan spons. Jika di sebuah simpang 4, lampu hijau menyala
bergiliran selama masing-masing 30 detik, lampu merah di setiap persimpangan
akan mendapat jatah 90 detik. Asumsinya dalam 1 jam akan menyala lampu merah
sebanyak 30 kali. Setiap lampu merah menyala, kemungkinan 1 orang bocah yang
acap disebut anak jalanan (anjal) ini dapat meng-handle 2 mobil. Dalam kurun waktu 1 jam, anjal akan meng-handle 60 mobil. Jika dari setiap-mobil
anjal mendapatkan balas jasa senilai Rp1.000, dalam waktu 1 jam anjal mampu
mengantongi Rp60.000. Bagaimana kalau 3 jam? Bagaimana kalau 1 bulan? Bayangkan
berapa pundi Rupiah yang didapatkan di musim hujan! Aksi ini tentunya tidak
mendapatkan reaksi yang seragam. Ada yang memberi uang, ada pula yang tidak.
Yang memberi uang mungkin saja iba, mungkin juga sudah terbiasa. Yang tidak
memberi bisa jadi sedang tidak ada stok recehan, bisa juga memang tidak mau
memberi.
Kendati tergolong mudah, pekerjaan ini bukan tanpa risiko. Risiko terkena
penyakit sehubungan dengan cuaca sampai risiko kecelakaan. Sekalipun
penghasilan yang didapatkan terbilang besar karena menyentuh angka jutaan
Rupiah perbulan, sejatinya anjal tetaplah seorang bocah yang butuh bersekolah,
mendapatkan pendidikan yang layak. Sayangnya, “tulang punggung” yang masih
lunak ini dipaksa keras, bahkan tahan banting.
Salah satu instansi pemerintahan terkait mengatakan bahwa terhadap
anjal ini telah dilakukan pembinaan berupa pelatihan keterampilan agar mereka menjadi
warga yang bermanfaat. Keterampilan ini bermacam-macam, mulai dari menjahit,
berbengkel, sampai membuat peralatan yang berguna. Bahkan instansi pemerintahan
tersebut melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam melakukan pembinaan.
Namun sayangnya, penolakan justru datang dari orang tua anjal. Faktor ekonomi tak
dapat dielakkan menjadi faktor utama bocah-bocah turut mencari nafkah.
Anjal ini banyak jenisnya dan dapat bertransformasi dari satu bentuk
ke bentuk lain, di antaranya adalah pengemis, pengamen, dan pedagang asongan.
Latar belakang mereka menghabiskan waktu di jalanan pun beragam pula yaitu
faktor ekonomi, broken home, ingin
memiliki uang sendiri, pengaruh
lingkungan, dan sebagainya.
Permasalahan anjal ini cukup kompleks sehingga dibutuhkan instrumen
yang tepat didampingi komitmen yang kuat oleh berbagai pihak mulai pemerintah,
LSM, sampai masyarakat. Payung hukum yang mengatur larangan memberi uang kepada
anjal kerap kali tidak diindahkan oleh pengendara. Bukan karena kurangnya
sosialisasi, tapi hal ini terjadi karena di jalanan anjal sering memaksa
pengendara untuk memberikan uang, kalau tidak diberi ia akan menggores kendaraan
tersebut. Oleh karena itu diperlukan razia berkala untuk membuat jera anjal yang
masih setia di perempatan lampu merah. Pembinaan berupa pelatihan keterampilan dan
pemberian modal usaha seyogyanya terus dilanjutkan dengan menggandeng LSM.
Note: Ini kali kedua saya menulis tentang penghasilan anjal. Tulisan
pertama di tahun 2013 telah saya hapus karena nama dan lokasi dinarasikan
dengan sangat jelas. Tulisan tentang pengemis yang buta dan pengemis yang
menggendong anak coming soon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar