Oleh: Febby Mellisa, Dewan
Redaksi Genta Andalas
http://aregata.xtgem.com |
“Jika
saja masih anak-anak ketika kata-kata 'emansipasi' belum ada bunyinya, belum
berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan
kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi dikala itu telah hidup
didalam hati sanubari saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah
keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri.” (Surat
Kartini kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899)
Raden
Adjeng Kartini, atau yang kita kenal dengan nama Kartini merupakan sosok yang
tak asing lagi di telinga kita. Priyayi asal Jepara ini adalah pelopor kebangkitan
perempuan pribumi. Seratus tiga puluh empat tahun sudah berlalu sejak ibunda M.
A. Ngasirah melahirkannya pada 21 April 1879.
Banyak surat ia tinggalkan beserta pemikirannya akan kebebasan dan
kemandirian kaum hawa seperti petikan salah satu surat di atas.
Emansipasi memang identik dengan kesetaraan gender. Wanita tak
mesti di dapur sembari menunggu suaminya pulang bekerja. Wanita kini bisa
mengecap gradasi pendidikan setinggi-tingginya. Tenaga pengajar wanita bergelar
guru besar juga telah semakin meningkat. Bahkan wanita masa kini sudah mampu melaksanakan
tugas-tugas yang sebelumnya dianggap sebagai tugas pria seperti pilot, sopir
bus, satpam, dan sebagainya.
Emansipasi Yang Kebablasan
Tak hanya mengulik emansipasi wanita
dalam hal pendidikan dan pekerjaan, bahkan wanita era kini kebablasan “memaknai”
kesetaraan gender. Kini catatan buruk yang hanya dimiliki kaum pria juga
dimiliki oleh wanita. Tak perlu jauh-jauh, kasus yang baru saja terjadi di
Bengkulu pertengahan April ini. Seorang Ibu RT bernama Em mencabuli belasan
Anak Baru Gede (ABG) di rumahnya. Pencabulan yang biasanya dilakukan oleh kaum
Adam ternyata terjadi yang katanya untuk pertama kalinya di Indonesia. Tuanya
zaman meruak betapa tidak bermoralnya wanita tersebut. Namun, sang suami, Mis,
tetap mempertahankan istrinya dalam sidang adat untuk tidak menceraikan dan agar
istrinya tidak di usir dari kediamannya. Inikah salah satu contoh “emansipasi”era
kini?
Tak
cukup dengan kasus terkutuk seperti pencabulan. Bahkan merambah ke ranah partai
politik. Jaminan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan khususnya di
bidang pemerintahan dan hukum telah ada dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik mengatur kuota keterlibatan perempuan dalam dunia
politik adalah sebesar 30 persen, terutama untuk duduk di kursi parlemen. Aturan
eksplisit ini membuat partai politik kelabakan. Hingga sekarang, banyak partai
politik yang masih kesulitan menjaring calon anggota legislatif perempuan.
Karena kapasitas tersebut haruslah memiliki kapabilitas yang memadai. Akibatnya
terdapat partai politik yang mendongkrak kuota calon legislatif perempuan bukan
mengandalkan kuatnya sistem kaderisasi melainkan mencaplok calon yang sudah
terkenal (baca: artis). Lagi, emansipasi yang kebablasan.
Tinta Surat
Memudar
Lafadz
surat Kartini kepada Nona Zeehandelaar mengisyaratkan hasrat
sanubari akan kebebasan. Wanita bisa menjadi pemimpin. Wanita bisa melakukan
yang pria bisa lakukan. Tinta-tinta itu kian pudar seiring berjalannya waktu
dengan gaya “emansipasi” yang salah kaprah pada masa sekarang.
Yang harus kita lakukan sebagai
wanita masa kini adalah perubahan. Emansipasi tetap dilanjutkan dengan kultur
dan rasa kebangsaan. Sejatinya image
pria sebagai sentral tidak bisa dihilangkan sampai kapanpun. Ambil yang baik,
tinggalkan yang buruk. Gapailah cita-cita bukan dengan kebebasan bukan karena
individual, tapi sebagai motivasi bahwa kita kaum Hawa pun bisa! Semangat untuk
generasi wanita tangguh, cerdas, dengan kepribadian luhur bangsa Indonesia :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar