Blue Fire Pointer AIRPLANE IN THE SKY: Ketika Tinta Surat Memudar (Refleksi Hari Kartini)

Sabtu, 20 April 2013

Ketika Tinta Surat Memudar (Refleksi Hari Kartini)



Oleh: Febby Mellisa, Dewan Redaksi Genta Andalas


http://aregata.xtgem.com
“Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata 'emansipasi' belum ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi dikala itu telah hidup didalam hati sanubari saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri.” (Surat Kartini kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899)

Raden Adjeng Kartini, atau yang kita kenal dengan nama Kartini merupakan sosok yang tak asing lagi di telinga kita. Priyayi asal Jepara ini adalah pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Seratus tiga puluh empat tahun sudah berlalu sejak ibunda M. A. Ngasirah melahirkannya pada 21 April 1879.  Banyak surat ia tinggalkan beserta pemikirannya akan kebebasan dan kemandirian kaum hawa seperti petikan salah satu surat di atas.

Emansipasi memang identik dengan kesetaraan gender. Wanita tak mesti di dapur sembari menunggu suaminya pulang bekerja. Wanita kini bisa mengecap gradasi pendidikan setinggi-tingginya. Tenaga pengajar wanita bergelar guru besar juga telah semakin meningkat. Bahkan  wanita masa kini sudah mampu melaksanakan tugas-tugas yang sebelumnya dianggap sebagai tugas pria seperti pilot, sopir bus, satpam, dan sebagainya.

Emansipasi Yang Kebablasan
            Tak hanya mengulik emansipasi wanita dalam hal pendidikan dan pekerjaan, bahkan wanita era kini kebablasan “memaknai” kesetaraan gender. Kini catatan buruk yang hanya dimiliki kaum pria juga dimiliki oleh wanita. Tak perlu jauh-jauh, kasus yang baru saja terjadi di Bengkulu pertengahan April ini. Seorang Ibu RT bernama Em mencabuli belasan Anak Baru Gede (ABG) di rumahnya. Pencabulan yang biasanya dilakukan oleh kaum Adam ternyata terjadi yang katanya untuk pertama kalinya di Indonesia. Tuanya zaman meruak betapa tidak bermoralnya wanita tersebut. Namun, sang suami, Mis, tetap mempertahankan istrinya dalam sidang adat untuk tidak menceraikan dan agar istrinya tidak di usir dari kediamannya. Inikah salah satu contoh “emansipasi”era kini?

            Tak cukup dengan kasus terkutuk seperti pencabulan. Bahkan merambah ke ranah partai politik. Jaminan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan khususnya di bidang pemerintahan dan hukum telah ada dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mengatur kuota keterlibatan perempuan dalam dunia politik adalah sebesar 30 persen, terutama untuk duduk di kursi parlemen. Aturan eksplisit ini membuat partai politik kelabakan. Hingga sekarang, banyak partai politik yang masih kesulitan menjaring calon anggota legislatif perempuan. Karena kapasitas tersebut haruslah memiliki kapabilitas yang memadai. Akibatnya terdapat partai politik yang mendongkrak kuota calon legislatif perempuan bukan mengandalkan kuatnya sistem kaderisasi melainkan mencaplok calon yang sudah terkenal (baca: artis). Lagi, emansipasi yang kebablasan.

Tinta Surat Memudar
            Lafadz surat Kartini kepada Nona Zeehandelaar mengisyaratkan hasrat sanubari akan kebebasan. Wanita bisa menjadi pemimpin. Wanita bisa melakukan yang pria bisa lakukan. Tinta-tinta itu kian pudar seiring berjalannya waktu dengan gaya “emansipasi” yang salah kaprah pada masa sekarang.

            Yang harus kita lakukan sebagai wanita masa kini adalah perubahan. Emansipasi tetap dilanjutkan dengan kultur dan rasa kebangsaan. Sejatinya image pria sebagai sentral tidak bisa dihilangkan sampai kapanpun. Ambil yang baik, tinggalkan yang buruk. Gapailah cita-cita bukan dengan kebebasan bukan karena individual, tapi sebagai motivasi bahwa kita kaum Hawa pun bisa! Semangat untuk generasi wanita tangguh, cerdas, dengan kepribadian luhur bangsa Indonesia :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar