Blue Fire Pointer AIRPLANE IN THE SKY: Oktober 2017

Sabtu, 07 Oktober 2017

Belajar Bersyukur

Sudah lewat Isya, api diskusi belum juga padam. Berbagai macam pemikiran bergumul, melahirkan pandangan dari berbagai sisi. Perihal negara memang tidak mudah. Sesekali mata berair menahan uap kantuk. Acap kali mata menatap ke arah jarum jam di tembok itu. Semoga waktu cepat berlalu, mengingat lembur yang juga tidak menambah uang saku.

Hingga akhirnya diskusi ini berujung kesimpulan. Para pegawai berhambur keluar ruangan. Ada istri yang ditunggui suaminya, ada ibu yang harus segera meninabobokkan balitanya, ada jejaka yang harus pulang ke kosan. Beberapa langkah dari gerbang kantor, tampak seorang lelaki tua dan seorang anak perempuan kecil sedang duduk berdua. Keduanya berpakaian lusuh dan compang-camping. Disampingnya ada gerobak berisikan sampah yang bisa didaur ulang atau dijual. Sang ayah memperdengarkan sebuah cerita kepada putrinya sehingga gadis kecil itu tertawa. Raut wajah bahagia tampak pada keduanya.

Perlahan seorang anak muda mendekati pak tua itu dan memberikannya selembar kertas bergambar Soekarno Hatta. Pak tua kemudian menatap dalam anak muda itu sembari mengucapkan terima kasih dengan menundukkan kepalanya sembari berdoa. Gadis kecil pun segera mengucapkan terima kasih, seakan sudah biasa dan terdidik mengucapkan kata itu setiap menerima kebaikan. Anak muda berlalu, namun tatapan pak tua kepadanya tak berpaling meskipun sudah tampak punggungnya saja. 

Semakin jauh langkah kaki si anak muda, semakin jauh perenungannya. Uap kantuk tak lagi dirasakan, justru air yang menguap dari sudut mata. Ada sesuatu yang ditahan-tahan. Benarkah kebahagiaan yang tengah mengukir raut wajah pak tua dan gadis kecil itu? Ternyata rasa syukur yang mengukir bahagia. Rasa syukur yang selalu membuat hati lapang.

Perihal negara memang tidak mudah. Namun malam itu menjadi peletakan batu pertama bagi sang anak muda untuk membangun benteng semangat, agar bekerja segiat-giatnya, dengan program yang sebaik-baiknya. Rasa syukur menjadi adukan semen supaya benteng itu kokoh. Dalam hatinya mengucapkan terima kasih kepada pak tua dan gadis kecil yang telah memberinya pelajaran berharga.

Jumat, 06 Oktober 2017

Naik Kereta Api Malang - Yogyakarta



foto oleh Mega Mutia Elza

Stasiun Malang Kotabaru Jumat malam itu disesaki oleh calon penumpang kereta api jurusan Yogyakarta. Saya perlahan-lahan menolehkan wajah ke kiri dan ke kanan, menyapukan pandangan. Kesendirian ini memberikan saya kesempatan untuk memperhatikan banyak hal, mulai dari segerombolan remaja yang saling menertawakan, dua sejoli yang sedang kasmaran, sampai yang seperti saya, sendirian.

Tak lama, kereta api yang ditunggu-tunggu pun tiba. Saya memasuki gerbong ekonomi. Ya, gerbong ekonomi! Saya tidak memiliki pilihan lain saat memesan di waktu yang mepet. Di gerbong ini, seorang penumpang harus duduk bersebelahan tanpa sekat dengan penumpang lainnya, belum lagi di depannya juga ada penumpang lain yang lututnya nyaris menyentuh lutut kita. 

Seorang pria duduk di sebelah saya, mengisi kursi yang telah ia sewa dengan harga Rp175 ribu untuk 7,5 jam ke depan. Beruntungnya, di depan kami belum ada penumpang yang naik sehingga bisa menselonjorkan kaki. Ia membuka percakapan dengan memperkenalkan diri, ternyata kami seumuran. Tidak butuh waktu lama untuk membuat kami akrab. Sepertinya kesendirian juga tidak abadi. Kerongkongan sampai kering saking cerita ini tidak ada habisnya.

Sesekali saya menoleh ke jendela, memperhatikan laju kereta api yang semakin kencang. Di depan mata, stasiun berganti jalan raya, kemudian berganti perumahan, dan berganti rerumputan. Syahdu sekali memandang ke luar meskipun minim cahaya.

Di sebuah stasiun persinggahan, dua penumpang-baru duduk di depan kami. Kaki yang selonjoran ditarik ke arah kolong kursi. Lutut ditekuk agar tidak beradu. Saya mencoba memejamkan mata meski tidak tidur. Mendekati Stasiun Tugu terdengar dentuman musik yang tak asing di telinga, Yogyakarta-nya Kla Project. “Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu”. Aah, meskipun perjalanan pertama ini tidak bisa disebut pulang, namun rindu memanggil saya datang.