Blue Fire Pointer AIRPLANE IN THE SKY: Insyaf, Cerita Sambil Menikmati Secangkir Kopi

Minggu, 18 Desember 2016

Insyaf, Cerita Sambil Menikmati Secangkir Kopi

Sejak senja tadi, awan Altostratus yang berlapis-lapis tampak memenuhi langit. Sepertinya dalam waktu yang tidak lama, dirgantara akan menurunkan bulir-bulir hujan. Kebetulan selepas magrib, saya mendapat undangan minum kopi dari sahabat saya, Riyu. Tepat pukul 19.00 WIB, saya tiba di sebuah cafe tempat kami berjanji. Di sana Riyu sudah menunggu dengan secangkir kopi.

“Silahkan dipilih menunya. Mau coba ristretto?” tanya Riyu.

“Affogato saja,” saya jawab.

“Hujan begini?” herannya.

“Kita tidak mesti menghangatkan diri saat hujan, bukan?” tanya balik.

“Pesan sesukamu, Nona,” ujar Riyu.

Begitulah, meskipun sama-sama suka kopi, kami menjatuhkan pilihan pada cita rasa yang berbeda. Cafe ini sering menjadi latar diskusi dan cerita dalam pertemuan kami. Saya selalu suka melihat ornamen kayu di balik punggung Riyu. Begitu pula Riyu selalu senang mengamati para barista beraksi di belakang saya.

“Sheric, apakah pintu taubat masih terbuka untuk saya?” Riyu bertanya lagi, kali ini pertanyaannya justru mengundang tanya.

“Setau saya, selama ruh belum berpamitan dengan jasad, pintu taubat masih terbuka. Memangnya ada apa?” saya tanya kembali.

“Ah, Sheric, kamu seperti tidak tahu saja. Saya pernah bercerita bahwa saya sedang menjalin hubungan dengan Riana. Kemudian di klub tenis, saya mencoba mendekati wanita lainnya, Anne. Tidak berhenti sampai di situ saja, saya sedang berkomunikasi intens lewat telepon genggam dengan wanita di pulau seberang, Felis. Kaji saya tidak sampai, mengapa bisa jatuh cinta pada beberapa wanita sekaligus.”

“Kamu si pemilik hati saja tak paham, apalagi saya. Saya harus meminjam hatimu dulu untuk mengerti partisi-partisi yang mampu menyekat dan membagi rasa cinta.”

“Saya tidak ingin hati ini kamu pinjam. Saya takut kamu tidak mengembalikannya lagi, Sheric.”

“Hmm... Mulai kamu Riyu!”

“Hahaha, hanya bercanda. Berhubungan dengan banyak wanita bukannya membuat saya jauh dari rasa kesepian. Justru semacam penyakit yang menggerogoti hati yang datang. Lubang di hati saya semakin dalam, sampai hampa rasanya.”

“Niat yang sangat bagus. Lalu apa rencanamu?”

“Saya ingin bersalaman dengan mereka, deal untuk mengakhiri hubungan ini. Saya ingin menenangkan nafas yang memburu, denyut nadi yang kencang, karena saya habis berlari mengejar cinta wanita-wanita itu.”

“Kesemuanya? Mengapa tidak kamu pilih satu saja untuk menemani hidupmu?”

“Belum waktunya, Sheric. Kini saatnya rayuan gombal diganti dengan mesranya doa. Menyanyikan lagu kepada pujaan hati digantikan dengan mengeja ayat-ayat suci. Hingga saat yang tepat tiba, saya akan menentukan hati, menetapkan pilihan pada satu nama”

“Artinya tidak berkomunikasi lagi dengan mereka?”

“Berkomunikasi tidak langsung.”

“Maksudnya?”

“Sepertinya akan lebih syahdu saat rindu kepada si dia justru disampaikan kepada penciptanya. Rindu yang dititipkan, dengan penyimpanan yang tentunya lebih baik dari jasa ekspedisi manapun di muka bumi.”

“Jujur saya hampir tidak percaya mendengarnya. Tapi awan Altostratus memang tidak boleh menjadi Cumulonimbus, yang memicu badai petir. Sangat bagus, kalau niat ini datang dari hatimu sendiri.”

“Mohon doanya, Sheric.”

“Tentu saja, Riyu. Tetap istiqomah, ya!”

Di hadapan saya, seorang aktor “Playboy Insyaf” sedang meneguk tegukan terakhir dari secangkir kopi. Cecapan pahit bercampur manis itu akan menemani hari-harinya dalam menjalani tekad.


Cerpen fiksi yang menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai pelaku sampingan

4 komentar:

  1. Kurang panjang nihh Non, masih pengen baca trus, ehehe..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Penylisnya suka tulisan yg pendek2
      *baca:penulis masih kurang ide*

      Hehehe

      Hapus
  2. Sekali nya menulis tulisan mu makin bagus aja by :) Playboy insyaf pada waktunya hehe.. Semoga ia tak lama di lamun ombak agar bisa mengemudi kapal yang sebenarnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasi supportnya kaka 😘 tuan tau jalan pulang...

      Hapus