Sejak senja tadi, awan Altostratus
yang berlapis-lapis tampak memenuhi langit. Sepertinya dalam waktu yang tidak
lama, dirgantara akan menurunkan bulir-bulir hujan. Kebetulan selepas magrib,
saya mendapat undangan minum kopi dari sahabat saya, Riyu. Tepat pukul 19.00
WIB, saya tiba di sebuah cafe tempat kami berjanji. Di sana Riyu sudah menunggu
dengan secangkir kopi.
“Silahkan dipilih menunya. Mau
coba ristretto?” tanya Riyu.
“Affogato saja,” saya jawab.
“Hujan begini?” herannya.
“Kita tidak mesti menghangatkan diri saat hujan, bukan?” tanya
balik.
“Pesan sesukamu, Nona,” ujar Riyu.
Begitulah, meskipun sama-sama
suka kopi, kami menjatuhkan pilihan pada cita rasa yang berbeda. Cafe ini
sering menjadi latar diskusi dan cerita dalam pertemuan kami. Saya selalu suka
melihat ornamen kayu di balik punggung Riyu. Begitu pula Riyu selalu senang
mengamati para barista beraksi di belakang saya.
“Sheric, apakah pintu taubat masih terbuka untuk saya?” Riyu
bertanya lagi, kali ini pertanyaannya justru mengundang tanya.
“Setau saya, selama ruh belum berpamitan dengan jasad, pintu taubat
masih terbuka. Memangnya ada apa?” saya tanya kembali.
“Ah, Sheric, kamu seperti tidak tahu saja. Saya pernah bercerita bahwa
saya sedang menjalin hubungan dengan Riana. Kemudian di klub tenis, saya mencoba
mendekati wanita lainnya, Anne. Tidak berhenti sampai di situ saja, saya sedang berkomunikasi intens lewat telepon genggam dengan wanita di pulau
seberang, Felis. Kaji saya tidak sampai, mengapa bisa jatuh cinta pada beberapa
wanita sekaligus.”
“Kamu si pemilik hati saja tak paham, apalagi saya. Saya harus meminjam
hatimu dulu untuk mengerti partisi-partisi yang mampu menyekat dan membagi rasa
cinta.”
“Saya tidak ingin hati ini kamu pinjam. Saya takut kamu tidak
mengembalikannya lagi, Sheric.”
“Hmm... Mulai kamu Riyu!”
“Hahaha, hanya bercanda. Berhubungan dengan banyak wanita bukannya
membuat saya jauh dari rasa kesepian. Justru semacam penyakit yang menggerogoti
hati yang datang. Lubang di hati saya semakin dalam, sampai hampa rasanya.”
“Niat yang sangat bagus. Lalu apa rencanamu?”
“Saya ingin bersalaman dengan mereka, deal untuk mengakhiri hubungan
ini. Saya ingin menenangkan nafas yang memburu, denyut nadi yang kencang,
karena saya habis berlari mengejar cinta wanita-wanita itu.”
“Kesemuanya? Mengapa tidak kamu pilih satu saja untuk menemani hidupmu?”
“Belum waktunya, Sheric. Kini saatnya rayuan gombal diganti dengan
mesranya doa. Menyanyikan lagu kepada pujaan hati digantikan dengan mengeja
ayat-ayat suci. Hingga saat yang tepat tiba, saya akan menentukan hati,
menetapkan pilihan pada satu nama”
“Artinya tidak berkomunikasi lagi dengan mereka?”
“Berkomunikasi tidak langsung.”
“Maksudnya?”
“Sepertinya akan lebih syahdu saat rindu kepada si dia justru disampaikan
kepada penciptanya. Rindu yang dititipkan, dengan penyimpanan yang tentunya
lebih baik dari jasa ekspedisi manapun di muka bumi.”
“Jujur saya hampir tidak percaya mendengarnya. Tapi awan Altostratus
memang tidak boleh menjadi Cumulonimbus, yang memicu badai petir. Sangat bagus,
kalau niat ini datang dari hatimu sendiri.”
“Mohon doanya, Sheric.”
“Tentu saja, Riyu. Tetap istiqomah, ya!”
Di hadapan saya, seorang aktor “Playboy
Insyaf” sedang meneguk tegukan terakhir dari secangkir kopi. Cecapan pahit bercampur manis itu akan menemani hari-harinya dalam
menjalani tekad.
Cerpen fiksi yang menggunakan sudut pandang orang
pertama sebagai pelaku sampingan