Stasiun Malang Kotabaru Jumat
malam itu disesaki oleh calon penumpang kereta api jurusan Yogyakarta. Saya perlahan-lahan
menolehkan wajah ke kiri dan ke kanan, menyapukan pandangan. Kesendirian ini
memberikan saya kesempatan untuk memperhatikan banyak hal, mulai dari
segerombolan remaja yang saling menertawakan, dua sejoli yang sedang kasmaran,
sampai yang seperti saya, sendirian.
Tak lama, kereta api yang ditunggu-tunggu
pun tiba. Saya memasuki gerbong ekonomi. Ya, gerbong ekonomi! Saya tidak
memiliki pilihan lain saat memesan di waktu yang mepet. Di gerbong ini, seorang
penumpang harus duduk bersebelahan tanpa sekat dengan penumpang lainnya, belum
lagi di depannya juga ada penumpang lain yang lututnya nyaris menyentuh lutut
kita.
Seorang pria duduk di sebelah
saya, mengisi kursi yang telah ia sewa dengan harga Rp175 ribu untuk 7,5 jam ke
depan. Beruntungnya, di depan kami belum ada penumpang yang naik sehingga bisa
menselonjorkan kaki. Ia membuka percakapan dengan memperkenalkan diri, ternyata
kami seumuran. Tidak butuh waktu lama untuk membuat kami akrab. Sepertinya
kesendirian juga tidak abadi. Kerongkongan sampai kering saking cerita ini
tidak ada habisnya.
Sesekali saya menoleh ke jendela,
memperhatikan laju kereta api yang semakin kencang. Di depan mata, stasiun
berganti jalan raya, kemudian berganti perumahan, dan berganti rerumputan.
Syahdu sekali memandang ke luar meskipun minim cahaya.
Di sebuah stasiun persinggahan,
dua penumpang-baru duduk di depan kami. Kaki yang selonjoran ditarik ke arah kolong
kursi. Lutut ditekuk agar tidak beradu. Saya mencoba memejamkan mata meski
tidak tidur. Mendekati Stasiun Tugu terdengar dentuman musik yang tak asing di
telinga, Yogyakarta-nya Kla Project. “Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam
rindu”. Aah, meskipun perjalanan pertama ini tidak bisa disebut pulang, namun
rindu memanggil saya datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar