Di sebuah meja kerja, terjadi percakapan antara Sajak dan Pena.
Pena: Kaukah itu, Sajak?
Sajak: Iya, saya datang.
Pena: Jika kau ada waktu, saya
ingin bercerita sebentar saja.
Sajak: Lama juga tak apa.
Pena: Saya lelah menuliskan
cerita tentang seorang wanita.
Sajak: Fiksi?
Pena: Nyata.
Sajak: Mengapa lelah?
Pena: Cerita tentangnya sangat
panjang.
Sajak: Kalau itu melelahkan,
mengapa tidak berhenti menuliskannya?
Pena: Tuanku yang memerintahkan.
Sajak: Hahaha, pria gila itu.
Pena: Ya, yang selalu menangkapmu
setiap kau terbang di sekitar kepalanya.
Sajak: Memangnya siapa sih wanita
itu?
Pena: Saya justru tak pernah
melihatnya. Tapi dari tulisan Tuan, wanita itu istimewa sekali.
Sajak: Menurutku, Tuanmulah yang mengistimewakannya
melalui sajak-sajak yang ia tangkap.
Pena: Kalau kita mogok bagaimana?
Sajak: Maksudnya?
Pena: Saya kosongkan tinta. Kau
berhenti terbang. Agar Tuanku tak dapat menulis sajak lagi.
Sajak: Jangan! Nanti Tuanmu
kehilangan pelampiasan. Hmm… Aku coba membantu.
Pena: Caranya?
Bergegas Sajak terbang mendekati
Sang Tuan. Menyadari ada Sajak di sekitarnya, Tuan yang takut kehilangan Sajak
segera mengambil pena kemudian menuliskan:
“Hai masa lalu, bolehkah saya
menyisihkan ruang dan waktu untuk sejenak mengenangmu? Bukan saya ingin mengulang kenangan itu. Saya
hanya ingin menyampaikan terima kasih. Bahwa kau pernah menemani perjalanan
hidupku, meskipun tidak sampai akhir. Tapi pada titian ini, saya menjadi lebih
kuat dan lebih tangguh.
Hai masa lalu, bagaimana saya sekarang? Sudah lebih baikkah dari yang dulu? Bukankah seseorang hari ini
adalah hasil dari serangkaian waktu yang tidak pernah putus? Sekali lagi terima
kasih. Semoga kau bahagia di sana.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar