Well,
tanpa menduakan Khadijah dengan ketaatannya terhadap Allah dan Rasulullah. Tanpa
mengenyampingkan Ibu Kartini sebagai pelopor kebangkitan wanita pribumi. Tanpa
melupakan Putri Diana dengan aktivitas sosialnya. Ruang lingkup tulisan ini
diperkecil menjadi “Wanita Terbaik Sepanjang Masa dalam Hidupku”
Sembilan bulan aku bermukim
di rahim mami. Ya, ya, aku tahu itu hal lumrah yang dilalui manusia dalam
proses penciptaannya. Apa sih yang membuat mami begitu spesial? Kulit putihnya?
Mata sayunya? Suara merdunya? Atau karena beliau pernah nge-MC pelantikan hakim
tipikor se-Indonesia? Tidak!!
Best Female Actor
Dunia adalah panggung
sandiwara. Adagium yang tak asing lagi di telinga. Namun tak semua sepakat
memaknainya. Dan kira-kira dapat ku jelaskan seperti ini: “Kita yang bertemu
hari ini adalah jodoh. Tuhan telah mengatur semuanya. Aku terlahir dari rahim
Bu Deflina, Bu Deflina adalah anaknya Nek Celly, Nek Celly dikaruniai 11 cucu.
Sebuah keluarga artinya kumpulan orang-orang yang ditakdirkan untuk bersama. Tuhan
yang menentukan peran dan kita yang membuat skenarionya. Di akhirat nanti, usia
kita sama (wallahualam). Tak ada kakak,
adik, ibu, ayah, apalagi nenek!” ^_^
Kembali ke laptop, eeh
mami. Baik sebagai sebagai seorang istri maupun ibu adalah dua peran yang
sangat krusial. Peran pertama untuk membesarkan pria. Dibalik pria sukses ada
wanita hebat. Peran kedua untuk mendidik anak-anaknya. Bahasa ibu adalah bahasa
pertama yang dimengerti anak-anaknya.
Setegar
Batu Karang
Ombak besar kerap ‘menampar’
batu karang. Namun batu karang senantiasa kokoh. Pernah suatu hari sang papi
nan tengah bertugas di Padang Sidempuan Sumatra Utara, tiba-tiba terpilih
sebagai salah 1 dari 9 hakim yang akan ditugaskan selama 3 bulan di Aceh. Tahun
2003, untuk apa? Mengadili kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM)! Detik-detik
menjeang keberangkatan papi ke Aceh, kulihat mami memeluk erat pria berkacamata
itu TANPA AIR MATA. Setiap hari papi menghubungi kami lewat telepon genggam
Nokia 3310 itu. Papi bercerita bahwa setiap hari terdengar bunyi bom. Awalnya
setiap letusan bom memekik, papi selalu pingsan. Lama kelamaan menjadi
terbiasa. Mami di sini menjaga aku yang masih SMP, adikku Vivi yang masih SD,
dan adikku Fenny yang masih berusia 3 tahun. Tak pernah kulihat mami dengan
wajah dirundung duka. Meski kecamuk itu kian melanglangbuana, senyuman lebar
tetap mempesona. Apa jadi kalau kediaman papi digelinding salah satu benda
penghancur itu?
Ah, Cuma satu kisah,
tak ada yang spesial untuk menjadi wanita terbaik. Tunggu dulu! Tahun 2006,
hampir 3 tahun kami jejaki wilayah Lampung. Saat seorang terdakwa mengancam
akan melempari rumah kami dengan truk penuh batu, kulihat mami berusaha
menghibur kami anak-anaknya. Padahal malam itu lampu sengaja kami matikan agar
terlihat tak ada kehidupan di rumah dinas ini. Lagi, TAK ADA AIR MATA.
Kita masuk ke bagian
yang paling pelik kawan. Sebuah daerah di Sulawesi Selatan yang masih kental
dengan mistisnya. Papi merasakan sakit yang teramat sangat. Berulang kali
berobat ke dokter ternama sekalipun, jawaban mereka sama “Bapak tidak sakit.”
Apa sebenarnya yang papi rasakan? Maka berlakulah asas “mata dibalas mata.”
Papi ‘diobati’ oleh orang pintar. Di depan mataku papi berteriak-teriak menahan
sakit sampai menangis meraung. Dan kulihat mami di sampingku hanya terdiam, TAK
ADA AIR MATA. Sempat papi menyuruhku masuk ke dalam kamar. Adikku yang tak
tahan segera berlari ke kamar dengan ratusan bulir air mata yang ‘berkejar-kejaran’.
“Siapa yang melakukan ini Pak? Orang dalam (kantor) kah?” tanya mami ke orang
pintar. “Tidak usah dijawab Pak, saya takut terbit dendam di hati saya jika
saya tahu orangnya, saya tak mau membalas.” Kalau aku jadi papi, saat itu juga
ku penggal leher pelakunya!
Tak lama setelah
kejadian itu, papi pingsan secara mendadak dan dilarikan oleh ambulans ke RS di
Makassar, 2 jam dari kediaman kami. Terlihat mami berkemas memberesi
barang-barang untuk menginap di Makassar. Aku tak tau harus berkata apa. Nyawa sang
ayah seperti di ujung tanduk. Aku tak dapat menerka bagaimana kelamnya nasib
masa depanku tanpa sang ayah di sisiku. Hanya doa tulus yang bisa kupanjatkan
kepada sang Khalik yang ‘menandatangani’ miliyaran doa tiap detiknya, semoga
papi segera sehat dan panjang umur. Kemudian mami dengan senyum hanya berpesan
pada kami untuk menjaga rumah dan membersihkan rumah. Di depan mami yang TANPA
AIR MATA, tak mungkin aku menumpahkan bakal air mata ini, lipid layer begitu kuat membungkus air mata dan mencegahnya jatuh
ke pipi.
Banyak lagi kisah yang
tak bisa aku sebutkan di catatan ini, jika kita bertemu kawan, akan
kuceritakan.
Nestapa
dibalik Tawa
Tak pernah kulihat
mami menangis dengan pressure yang
begitu hebat mendera keluarga kami. Aku sempat berpikir mungkin air mata itu
telah mengering ketika adzan subuh berkumandang. Karena air mata hanya bisa bersemayam
ketika malam menyelimuti tidur lelapku, saat itulah sang ibu mengangis di depan
Tuhan Yang Maha Tahu. Ntahlah, aku tebak alurnya seperti itu.
Bagaimana anak-anak
bisa tenang dan tegar jika sang ibu terlihat tidak tegar? Lagi-lagi ini
asumsiku untuk menjelaskan sang mami yang TANPA AIR MATA. Berbuat baiklah, senantiasa
kebajikan dalam bingkai kehidupan. Menangis saat bahagia, tersenyum di kala
duka.
Kini, kulihat status
FB mami bahwa ibundaku tercinta itu sedang menangis. Jika itu karena
kenakalanku, ampuni aku mami. Jika bukan karenaku, semoga semua bisa pulih
kembali :’)—FEBBY