Blue Fire Pointer AIRPLANE IN THE SKY: Mami, Wanita Terbaik Sepanjang Masa

Sabtu, 20 Oktober 2012

Mami, Wanita Terbaik Sepanjang Masa



Well, tanpa menduakan Khadijah dengan ketaatannya terhadap Allah dan Rasulullah. Tanpa mengenyampingkan Ibu Kartini sebagai pelopor kebangkitan wanita pribumi. Tanpa melupakan Putri Diana dengan aktivitas sosialnya. Ruang lingkup tulisan ini diperkecil menjadi “Wanita Terbaik Sepanjang Masa dalam Hidupku”
Sembilan bulan aku bermukim di rahim mami. Ya, ya, aku tahu itu hal lumrah yang dilalui manusia dalam proses penciptaannya. Apa sih yang membuat mami begitu spesial? Kulit putihnya? Mata sayunya? Suara merdunya? Atau karena beliau pernah nge-MC pelantikan hakim tipikor se-Indonesia? Tidak!!

Best Female Actor
Dunia adalah panggung sandiwara. Adagium yang tak asing lagi di telinga. Namun tak semua sepakat memaknainya. Dan kira-kira dapat ku jelaskan seperti ini: “Kita yang bertemu hari ini adalah jodoh. Tuhan telah mengatur semuanya. Aku terlahir dari rahim Bu Deflina, Bu Deflina adalah anaknya Nek Celly, Nek Celly dikaruniai 11 cucu. Sebuah keluarga artinya kumpulan orang-orang yang ditakdirkan untuk bersama. Tuhan yang menentukan peran dan kita yang membuat skenarionya. Di akhirat nanti, usia kita sama (wallahualam). Tak ada kakak, adik, ibu, ayah, apalagi nenek!” ^_^

Kembali ke laptop, eeh mami. Baik sebagai sebagai seorang istri maupun ibu adalah dua peran yang sangat krusial. Peran pertama untuk membesarkan pria. Dibalik pria sukses ada wanita hebat. Peran kedua untuk mendidik anak-anaknya. Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dimengerti anak-anaknya.

Setegar Batu Karang
Ombak besar kerap ‘menampar’ batu karang. Namun batu karang senantiasa kokoh. Pernah suatu hari sang papi nan tengah bertugas di Padang Sidempuan Sumatra Utara, tiba-tiba terpilih sebagai salah 1 dari 9 hakim yang akan ditugaskan selama 3 bulan di Aceh. Tahun 2003, untuk apa? Mengadili kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM)! Detik-detik menjeang keberangkatan papi ke Aceh, kulihat mami memeluk erat pria berkacamata itu TANPA AIR MATA. Setiap hari papi menghubungi kami lewat telepon genggam Nokia 3310 itu. Papi bercerita bahwa setiap hari terdengar bunyi bom. Awalnya setiap letusan bom memekik, papi selalu pingsan. Lama kelamaan menjadi terbiasa. Mami di sini menjaga aku yang masih SMP, adikku Vivi yang masih SD, dan adikku Fenny yang masih berusia 3 tahun. Tak pernah kulihat mami dengan wajah dirundung duka. Meski kecamuk itu kian melanglangbuana, senyuman lebar tetap mempesona. Apa jadi kalau kediaman papi digelinding salah satu benda penghancur itu?

Ah, Cuma satu kisah, tak ada yang spesial untuk menjadi wanita terbaik. Tunggu dulu! Tahun 2006, hampir 3 tahun kami jejaki wilayah Lampung. Saat seorang terdakwa mengancam akan melempari rumah kami dengan truk penuh batu, kulihat mami berusaha menghibur kami anak-anaknya. Padahal malam itu lampu sengaja kami matikan agar terlihat tak ada kehidupan di rumah dinas ini. Lagi, TAK ADA AIR MATA.

Kita masuk ke bagian yang paling pelik kawan. Sebuah daerah di Sulawesi Selatan yang masih kental dengan mistisnya. Papi merasakan sakit yang teramat sangat. Berulang kali berobat ke dokter ternama sekalipun, jawaban mereka sama “Bapak tidak sakit.” Apa sebenarnya yang papi rasakan? Maka berlakulah asas “mata dibalas mata.” Papi ‘diobati’ oleh orang pintar. Di depan mataku papi berteriak-teriak menahan sakit sampai menangis meraung. Dan kulihat mami di sampingku hanya terdiam, TAK ADA AIR MATA. Sempat papi menyuruhku masuk ke dalam kamar. Adikku yang tak tahan segera berlari ke kamar dengan ratusan bulir air mata yang ‘berkejar-kejaran’. “Siapa yang melakukan ini Pak? Orang dalam (kantor) kah?” tanya mami ke orang pintar. “Tidak usah dijawab Pak, saya takut terbit dendam di hati saya jika saya tahu orangnya, saya tak mau membalas.” Kalau aku jadi papi, saat itu juga ku penggal leher pelakunya!

Tak lama setelah kejadian itu, papi pingsan secara mendadak dan dilarikan oleh ambulans ke RS di Makassar, 2 jam dari kediaman kami. Terlihat mami berkemas memberesi barang-barang untuk menginap di Makassar. Aku tak tau harus berkata apa. Nyawa sang ayah seperti di ujung tanduk. Aku tak dapat menerka bagaimana kelamnya nasib masa depanku tanpa sang ayah di sisiku. Hanya doa tulus yang bisa kupanjatkan kepada sang Khalik yang ‘menandatangani’ miliyaran doa tiap detiknya, semoga papi segera sehat dan panjang umur. Kemudian mami dengan senyum hanya berpesan pada kami untuk menjaga rumah dan membersihkan rumah. Di depan mami yang TANPA AIR MATA, tak mungkin aku menumpahkan bakal air mata ini, lipid layer begitu kuat membungkus air mata dan mencegahnya jatuh ke pipi.

Banyak lagi kisah yang tak bisa aku sebutkan di catatan ini, jika kita bertemu kawan, akan kuceritakan. 

Nestapa dibalik Tawa
Tak pernah kulihat mami menangis dengan pressure yang begitu hebat mendera keluarga kami. Aku sempat berpikir mungkin air mata itu telah mengering ketika adzan subuh berkumandang. Karena air mata hanya bisa bersemayam ketika malam menyelimuti tidur lelapku, saat itulah sang ibu mengangis di depan Tuhan Yang Maha Tahu. Ntahlah, aku tebak alurnya seperti itu.

Bagaimana anak-anak bisa tenang dan tegar jika sang ibu terlihat tidak tegar? Lagi-lagi ini asumsiku untuk menjelaskan sang mami yang TANPA AIR MATA. Berbuat baiklah, senantiasa kebajikan dalam bingkai kehidupan. Menangis saat bahagia, tersenyum di kala duka.

Kini, kulihat status FB mami bahwa ibundaku tercinta itu sedang menangis. Jika itu karena kenakalanku, ampuni aku mami. Jika bukan karenaku, semoga semua bisa pulih kembali :’)—FEBBY

Tidak ada komentar:

Posting Komentar