Blue Fire Pointer AIRPLANE IN THE SKY: Bullied di Masa Kecil Dori

Minggu, 27 Maret 2016

Bullied di Masa Kecil Dori

gambar via republika.co.id

 *Setting tahun 1997

Teeettt… Bel sekolah berbunyi pertanda jam sekolah SDN 1 Meulaboh, Daerah Istimewa Aceh (sebelum menjadi Nanggro Aceh Darussalam) telah usai. Dori, seorang anak kecil berkepang dua masih duduk di ruang kelas sampai seisi kelas berhamburan pulang. Raut wajahnya datar, namun tatapannya nanar. Tak berapa lama, sang ayah datang menjemput putri kecilnya pulang. Ayah menggandeng tangan Dori, kemudian mendapati perpaduan warna hijau kebiruan di tangan anak sulungnya itu.

“Nak, ini kenapa tangannya biru-biru?” tanya ayah.
“Tak mengapa, tadi jatuh,” ujar Dori khas kebohongan anak kecil.

Hari demi hari, ketika ayah menjemput Dori pulang, memar di tangan Dori bertambah satu demi satu.  Naluri seorang ayah berkata bahwa sang anak telah diisengi oleh teman sepermainannya.

“Nak, jujur saja, kenapa setiap hari memarnya bertambah?” tanya ayah.
“Dicubit teman sebangku, Yah,” jawab Dori sambil menahan air mata yang hampir melompat keluar water line.

Saat itu juga ayah mengadukan peristiwa tersebut kepada wali kelas. Keesokan harinya, wali kelas bertanya kepada murid-murid.

“Anak-anak, di kelas ini adakah yang memukul atau mencubit Dori?” tanya wali kelas.

Seisi kelas sunyi dan penuh gelengan kepala bocah ingusan.

“Dori, kamu berbohong? Lain kali kamu tidak boleh berbohong kepada orang tua dan guru ya!” ceramah wali kelas kepada Dori dengan sedikit marah.
“Baik, Bu,” jawab Dori.
“Dori, yang kemaren-kemaren maaf ya,” ujar teman sebangku Dori dengan senyuman.

Sebuah senyuman, yang tentunya bagi Dori tetap menakutkan. Pulang sekolah kali ini ada yang berbeda, teman sebangku Dori tidak mencubit tangannya lagi. Ada hikmahnya juga dimarahi guru.

Beberapa bulan kemudian, ayah Dori mutasi ke kota salak di Sumatera Utara. Dori turut serta pindah. Dalam hati Dori bertekad tidak akan menjadi korban kekerasan lagi. Peribahasa “lain lubuk lain ikannya” memang benar adanya. Di kota baru ini, Dori tidak lagi dipukul dan dicubit, melainkannnn dibentak beramai-ramai oleh sekelompok anak yang hits dan gaul pada zamannya. Beberapa siswa-yang-memakai-seragam-sendiri-saja-belum-bisa tersebut setiap harinya memercikkan api permusuhan kepada Dori. Tetapi Dori tetap saja tenang, berwajah datar, dan menganggap seakan-akan tidak ada masalah hidup. Walaupun tegar, psikologis Dori sebenarnya terguncang.

Jauh sebelum kosa kata bullying begitu terkenal seperti sekarang, kekerasan fisik dan psikis sudah terjadi sedari dulu. Ketahanan diri anak dalam menghadapi hal ini bermacam-macam. Ada yang trauma, stres, tenang, atau sampai melampiaskannya dengan mem-bully orang lain. Dori tidak sendirian, masih banyak anak-anak yang bernasib sama bahkan lebih buruk. Terkadang anak yang suka membully bukanlah anak yang berhati jahat. Ia hanya menjadi follower apa yang lingkungannya biasa lakukan. Di balik perannya sebagai pelaku bully, ia merupakan bocah lugu yang belum sempurna akalnya. Peran orang tua sangatlah penting dalam mengawasi anaknya. Keterbukaan antara anak dan orang tua menjadi mutlak. Stop Bullying!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar