gambar via republika.co.id |
Teeettt… Bel sekolah berbunyi
pertanda jam sekolah SDN 1 Meulaboh, Daerah Istimewa Aceh (sebelum menjadi
Nanggro Aceh Darussalam) telah usai. Dori, seorang anak kecil berkepang dua
masih duduk di ruang kelas sampai seisi kelas berhamburan pulang. Raut wajahnya
datar, namun tatapannya nanar. Tak berapa lama, sang ayah datang menjemput putri
kecilnya pulang. Ayah menggandeng tangan Dori, kemudian mendapati perpaduan
warna hijau kebiruan di tangan anak sulungnya itu.
“Nak, ini kenapa tangannya
biru-biru?” tanya ayah.
“Tak mengapa, tadi jatuh,” ujar Dori
khas kebohongan anak kecil.
Hari demi hari, ketika ayah
menjemput Dori pulang, memar di tangan Dori bertambah satu demi satu. Naluri seorang ayah berkata bahwa sang anak
telah diisengi oleh teman sepermainannya.
“Nak, jujur saja, kenapa setiap
hari memarnya bertambah?” tanya ayah.
“Dicubit teman sebangku, Yah,”
jawab Dori sambil menahan air mata yang hampir melompat keluar water line.
Saat itu juga ayah mengadukan
peristiwa tersebut kepada wali kelas. Keesokan harinya, wali kelas bertanya
kepada murid-murid.
“Anak-anak, di kelas ini adakah
yang memukul atau mencubit Dori?” tanya wali kelas.
Seisi kelas sunyi dan penuh
gelengan kepala bocah ingusan.
“Dori, kamu berbohong? Lain kali
kamu tidak boleh berbohong kepada orang tua dan guru ya!” ceramah wali kelas
kepada Dori dengan sedikit marah.
“Baik, Bu,” jawab Dori.
“Dori, yang kemaren-kemaren maaf
ya,” ujar teman sebangku Dori dengan senyuman.
Sebuah senyuman, yang tentunya
bagi Dori tetap menakutkan. Pulang sekolah kali ini ada yang berbeda, teman
sebangku Dori tidak mencubit tangannya lagi. Ada hikmahnya juga dimarahi guru.
Beberapa bulan kemudian, ayah Dori
mutasi ke kota salak di Sumatera Utara. Dori turut serta pindah. Dalam hati Dori
bertekad tidak akan menjadi korban kekerasan lagi. Peribahasa “lain lubuk lain
ikannya” memang benar adanya. Di kota baru ini, Dori tidak lagi dipukul dan
dicubit, melainkannnn dibentak beramai-ramai oleh sekelompok anak yang hits dan gaul pada zamannya. Beberapa
siswa-yang-memakai-seragam-sendiri-saja-belum-bisa tersebut setiap harinya
memercikkan api permusuhan kepada Dori. Tetapi Dori tetap saja tenang, berwajah
datar, dan menganggap seakan-akan tidak ada masalah hidup. Walaupun tegar,
psikologis Dori sebenarnya terguncang.
Jauh sebelum kosa kata bullying begitu terkenal seperti
sekarang, kekerasan fisik dan psikis sudah terjadi sedari dulu. Ketahanan diri
anak dalam menghadapi hal ini bermacam-macam. Ada yang trauma, stres, tenang,
atau sampai melampiaskannya dengan mem-bully
orang lain. Dori tidak sendirian, masih banyak anak-anak yang bernasib sama bahkan
lebih buruk. Terkadang anak yang suka membully
bukanlah anak yang berhati jahat. Ia hanya menjadi follower apa yang lingkungannya biasa lakukan. Di balik perannya
sebagai pelaku bully, ia merupakan
bocah lugu yang belum sempurna akalnya. Peran orang tua sangatlah penting dalam
mengawasi anaknya. Keterbukaan antara anak dan orang tua menjadi mutlak. Stop Bullying!