Ada yang spesial di Rabu (24/06/2015)
siang ini. Kanwil DJP Sumatera Barat dan Jambi kedatangan pemateri In House
Training yang tak asing lagi dalam jagad pertelevisian, bahkan namanya acap
menjadi goresan tinta media cetak. Sesosok guru besar yang telah mengantongi
segudang penghargaan, diantaranya Megawati Soekarno Putri Award sebagai
Pahlawan Muda Bintang Pemberantasan Korupsi (2012), Tokoh Muda Inspiratif versi
Kompas (2009), dan Award of Achievement for People Who Make a Difference dari
The Gleitsman Foundation USA (2004).
Materi pada Rabu ini bertema
“Gratifikasi”. Ciri khas dari gratifikasi adalah tidak ada niat, namun niat
jahat ada saat gratifikasi itu tidak dilaporkan, kemudian tidak adanya
transaksional (meeting of mind).
Gratifikasi berbeda dengan penyuapan yang mengandung unsur transaksional, juga
berbeda dengan pemerasan yang mengandung unsur paksaan.
Gratifikasi
adalah pemberian dalam arti luas yakni pemberian uang, barang, rabat (diskon),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Oleh karena itu
gratifikasi mempunyai makna yang netral. Gratifikasi menjadi tindak pidana
apabila memenuhi rumusan Pasal 12B ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi: “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut...”
Beban
pembuktian gratifikasi bukan merupakan suap dibagi menjadi 2. Untuk gratifikasi
di bawah Rp 10 juta beban pembuktian diemban oleh penuntut umum, sedangkan Rp
10 juta ke atas beban pembuktian diemban oleh penerima gratifikasi.
Setelah 1 jam, pemaparan materi pun
usai. Rasanya gatal tenggorokan kalau tidak bertanya. Maka saya pun bertanya:
“Prof, terkait kenikmatan, apakah pemberian kenikmatan seksual merupakan jenis
gratifikasi yang diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi? Dan jika
termasuk jenisnya, bagaimana beban pembuktiannya sedangkan nilai kenikmatan itu
tidak bisa diukur apakah di bawah Rp 10 juta atau Rp 10 juta ke atas?” Sontak
pertanyaan ini membuat Prof Saldi dan hadirin sepakat tertawa.
Atas pertanyaan tersebut Prof Saldi
menjawab bahwa secara eksplisit gratifikasi seks memang tidak diatur dalam UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun belum tentu tidak bisa dijerat,
dalam gratifikasi seks dapat digunakan formula “barang”. Terkait beban
pembuktian, Prof Saldi tersenyum sambil bertanya bagaimana pula menilai
kenikmatan itu di bawah Rp 10 juta atau Rp 10 juta ke atas. Untuk itu ketentuan
gratifikasi seks ini selayaknya dibuatkan rumusan deliknya dalam UU. Di akhir
jawaban, beliau menyarankan saya untuk membaca buku berwarna pink yang menghubungkan antara sex, erotism,
dan corruption”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar