Blue Fire Pointer AIRPLANE IN THE SKY: Gratifikasi Seks di Mata Prof Saldi Isra

Selasa, 14 Juli 2015

Gratifikasi Seks di Mata Prof Saldi Isra

sumber foto: fhuk.unand.ac.id
Ada yang spesial di Rabu (24/06/2015) siang ini. Kanwil DJP Sumatera Barat dan Jambi kedatangan pemateri In House Training yang tak asing lagi dalam jagad pertelevisian, bahkan namanya acap menjadi goresan tinta media cetak. Sesosok guru besar yang telah mengantongi segudang penghargaan, diantaranya Megawati Soekarno Putri Award sebagai Pahlawan Muda Bintang Pemberantasan Korupsi (2012), Tokoh Muda Inspiratif versi Kompas (2009), dan Award of Achievement for People Who Make a Difference dari The Gleitsman Foundation USA (2004).

Materi pada Rabu ini bertema “Gratifikasi”. Ciri khas dari gratifikasi adalah tidak ada niat, namun niat jahat ada saat gratifikasi itu tidak dilaporkan, kemudian tidak adanya transaksional (meeting of mind). Gratifikasi berbeda dengan penyuapan yang mengandung unsur transaksional, juga berbeda dengan pemerasan yang mengandung unsur paksaan.

Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yakni pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Oleh karena itu gratifikasi mempunyai makna yang netral. Gratifikasi menjadi tindak pidana apabila memenuhi rumusan Pasal 12B ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut...”

Beban pembuktian gratifikasi bukan merupakan suap dibagi menjadi 2. Untuk gratifikasi di bawah Rp 10 juta beban pembuktian diemban oleh penuntut umum, sedangkan Rp 10 juta ke atas beban pembuktian diemban oleh penerima gratifikasi.

Setelah 1 jam, pemaparan materi pun usai. Rasanya gatal tenggorokan kalau tidak bertanya. Maka saya pun bertanya: “Prof, terkait kenikmatan, apakah pemberian kenikmatan seksual merupakan jenis gratifikasi yang diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi? Dan jika termasuk jenisnya, bagaimana beban pembuktiannya sedangkan nilai kenikmatan itu tidak bisa diukur apakah di bawah Rp 10 juta atau Rp 10 juta ke atas?” Sontak pertanyaan ini membuat Prof Saldi dan hadirin sepakat tertawa.


Atas pertanyaan tersebut Prof Saldi menjawab bahwa secara eksplisit gratifikasi seks memang tidak diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun belum tentu tidak bisa dijerat, dalam gratifikasi seks dapat digunakan formula “barang”. Terkait beban pembuktian, Prof Saldi tersenyum sambil bertanya bagaimana pula menilai kenikmatan itu di bawah Rp 10 juta atau Rp 10 juta ke atas. Untuk itu ketentuan gratifikasi seks ini selayaknya dibuatkan rumusan deliknya dalam UU. Di akhir jawaban, beliau menyarankan saya untuk membaca buku berwarna pink yang menghubungkan antara sex, erotism, dan corruption”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar