http://www.mahdiyyah.com |
Ketika setiap
ruas jemari kita bertaut dan kulit pembungkus metacarpal saling menindih. Terlalu
lama, sampai keringat menyeruak dari penyatuan 2 tangan tersebut. Perlahan -kepalaku yang mulai tidak bisa tegak- kau kau arahkan ke bagian tubuhmu yang konon katanya paling kuat menopang beban. Detak
jantungmu memang tak terdengar dari sini, tetapi aku paham degupan hebat sedang
terjadi di sana.
Diam-diam aku
memandangi wajahmu dari jarak yang teramat dekat. Meskipun tidak terlalu jelas
karena atap mobil ini menyamarkan jutaan cahaya bintang. Sesekali sorot lampu
di jalan membantuku menebak raut wajahmu. Tuhan yang maha
membolak-balikkan hati, jika Engkau takdirkan hidupku untuknya, hidupnya
untukku, pertemukanlah jalannya. Jika sekiranya 2 jiwa ini tercipta bukan untuk
dipersatukan, bantulah Hamba untuk mengikhlaskannya. Tentunya Engkau tahu
Tuhan, namanya adalah harapan yang selalu aku panjatkan di pucuk-pucuk doa.
Sekejap saja,
perjalanan kita telah berhenti di suatu terminal. Dengan berat hati tangan yang
saling menggenggam pada akhirnya saling melepaskan. Meskipun bahumu masih kuat,
tetapi kepalaku harus tegak. Tak perlu kerjasama laring dengan pita suara. Kita
sama-sama tahu aksara apa yang ingin kita tuliskan, rangkaian puisi apa yang
hendak kita bacakan. (Febby Mellisa)