Hari
itu mentari terik sekali. Aku terus menyusuri jalanan di Permindo bersama
ratusan pasang kaki lainnya. Entah mereka sedang berbelanja atau sekedar
jalan-jalan. Ketika melewati Toko Sari Anggrek, bukan pemandangan yang asing
lagi, terlihat beberapa pengemis. Mereka menanti belas kasihan dari pejalan
yang memakai pakaian bagus.
Hanya beberapa langkah dari pintu
masuk Toko Sari Anggrek, tatapanku tertuju pada seorang pria tua yang memakai
baju biru. Bukan karena bajunya, tapi karena aktivitasnya. Gerakan jemarinya
terlihat lincah meraba kertas berbintik-bintik. Tidak ada tinta hitam di sana. Suaranya terdengar pelan di tengah
hiruk-pikuk manusia. Ayat demi ayat nan suci kian fasih dari bibirnya. Sebuah
tape kecil mengiringi sejalan dengan lantunannya. Tepat, ia adalah seorang
tunanetra yang sedang membaca Alquran.
Ini baru pemandangan langka. Saking
langkanya hingga bukan mataku saja yang betah melihatnya, tapi langkah kakiku
terhenti untuk tetap di sana dan telingaku berusaha mencuri dengar suara Pak
tua yang pelan. Rasa iba berbaur dengan rasa kagum. Kulihat ada orang-orang
yang mengacuhkannya, namun ada juga orang-orang yang memberinya uang kertas
bergambar Pattimura atau terkadang uang kertas berwarna abu-abu, malah ada juga
uang logam.
Sekitar sepuluh menit aku mengamati
aktivitasnya. Kemudian datang seorang wanita tua. Mereka sedikit berbincang,
tapi aku tak bisa mendengar perbincangan mereka dari jarak 4 meter. Akhirnya
aku mendekati keduanya. Aku merendahkan badanku dan duduk bersama mereka.
Ternyata mereka suami istri. Wanita tua tersebut adalah istri keempat dari pak
tua.
“Permisi,
Pak, Bu, saya mahasiswi dari Unand, boleh tanya-tanya sedikit?” tanyaku dengan
sedikit gugup.
“Boleh,
Nak, mau tanya apa?” jawab si ibu lembut.
“Maaf,
sebelumnya, apakah Bapak memang seperti ini (baca: tunanetra) sejak lahir?”
Pertanyaan dibuka secara to the point.
“Iya, Nak,
memang sudah seperti ini.” Jawab pak tua singkat.
Dialog
pun berjalan cukup panjang. Pak tua kelahiran Februari 1945 ini pernah hijrah
ke Semarang pada tahun 1972. Ia sempat menjadi tukang pijat. Di sana ia
berteman dengan seorang guru mengaji yang juga penghafal Alquran. Ia pun
mendapatkan Alquran Braille dari Proyek Pengadaan Alquran Departemen Agama RI.
Seseorang yang memiliki salah satu
panca indra yang tidak berfungsi, bukan berarti orang itu kehilangan kesempatan
untuk hidup sebagaimana orang lain yang sempurna panca indranya. Baginya,
Alquran Braille adalah jendela yang menjadi jalan cahaya Illahi hingga
membuatnya melihat betapa indahnya ciptaan Allah. Ia sangat bersemangat
mempelajarinya.
Alquran
yang terdiri dari 30 juz jika dibraillekan jumlah halamannya akan meningkat
tiga kali lipat, yakni sekira 1.000 lembar. Karena itu Alquran Braille biasanya
dicetak per satu juz. Setiap juz ada sekira 30 halaman. Jadi satu Alquran
Braille akan terdiri dari satu set buku yang berisi 30 buah buku dari juz satu
hingga 30.
Mereka yang tak sempurna saja mau
belajar membaca Alquran dan rajin melantunkannya. Sungguh tak tahu akan
dihadapkan ke mana wajah ini apabila ada orang yang sempurna matanya tapi
tertutup mata hatinya untuk membaca kitab suci. Bayangkan bahwa Allah sedang
memanggil-manggil kita dan ingin sekali kita membaca Kitab-Nya. Bayangkan bahwa
Rasulullah dan Sahabat selalu terpanggil dan rindu ketika membacanya. Bayangkan
mereka selalu bergetar dan menangis ketika membacanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar