Blue Fire Pointer AIRPLANE IN THE SKY: MATA HATI SANG TUNANETRA

Sabtu, 21 April 2012

MATA HATI SANG TUNANETRA



            Hari itu mentari terik sekali. Aku terus menyusuri jalanan di Permindo bersama ratusan pasang kaki lainnya. Entah mereka sedang berbelanja atau sekedar jalan-jalan. Ketika melewati Toko Sari Anggrek, bukan pemandangan yang asing lagi, terlihat beberapa pengemis. Mereka menanti belas kasihan dari pejalan yang memakai pakaian bagus.
            Hanya beberapa langkah dari pintu masuk Toko Sari Anggrek, tatapanku tertuju pada seorang pria tua yang memakai baju biru. Bukan karena bajunya, tapi karena aktivitasnya. Gerakan jemarinya terlihat lincah meraba kertas berbintik-bintik. Tidak ada tinta hitam di  sana. Suaranya terdengar pelan di tengah hiruk-pikuk manusia. Ayat demi ayat nan suci kian fasih dari bibirnya. Sebuah tape kecil mengiringi sejalan dengan lantunannya. Tepat, ia adalah seorang tunanetra yang sedang membaca Alquran.
            Ini baru pemandangan langka. Saking langkanya hingga bukan mataku saja yang betah melihatnya, tapi langkah kakiku terhenti untuk tetap di sana dan telingaku berusaha mencuri dengar suara Pak tua yang pelan. Rasa iba berbaur dengan rasa kagum. Kulihat ada orang-orang yang mengacuhkannya, namun ada juga orang-orang yang memberinya uang kertas bergambar Pattimura atau terkadang uang kertas berwarna abu-abu, malah ada juga uang logam.
            Sekitar sepuluh menit aku mengamati aktivitasnya. Kemudian datang seorang wanita tua. Mereka sedikit berbincang, tapi aku tak bisa mendengar perbincangan mereka dari jarak 4 meter. Akhirnya aku mendekati keduanya. Aku merendahkan badanku dan duduk bersama mereka. Ternyata mereka suami istri. Wanita tua tersebut adalah istri keempat dari pak tua.
“Permisi, Pak, Bu, saya mahasiswi dari Unand, boleh tanya-tanya sedikit?” tanyaku dengan sedikit gugup.
“Boleh, Nak, mau tanya apa?” jawab si ibu lembut.
“Maaf, sebelumnya, apakah Bapak memang seperti ini (baca: tunanetra) sejak lahir?” Pertanyaan dibuka secara to the point.
“Iya, Nak, memang sudah seperti ini.” Jawab pak tua singkat.
Dialog pun berjalan cukup panjang. Pak tua kelahiran Februari 1945 ini pernah hijrah ke Semarang pada tahun 1972. Ia sempat menjadi tukang pijat. Di sana ia berteman dengan seorang guru mengaji yang juga penghafal Alquran. Ia pun mendapatkan Alquran Braille dari Proyek Pengadaan Alquran Departemen Agama RI.
            Seseorang yang memiliki salah satu panca indra yang tidak berfungsi, bukan berarti orang itu kehilangan kesempatan untuk hidup sebagaimana orang lain yang sempurna panca indranya. Baginya, Alquran Braille adalah jendela yang menjadi jalan cahaya Illahi hingga membuatnya melihat betapa indahnya ciptaan Allah. Ia sangat bersemangat mempelajarinya.
Alquran yang terdiri dari 30 juz jika dibraillekan jumlah halamannya akan meningkat tiga kali lipat, yakni sekira 1.000 lembar. Karena itu Alquran Braille biasanya dicetak per satu juz. Setiap juz ada sekira 30 halaman. Jadi satu Alquran Braille akan terdiri dari satu set buku yang berisi 30 buah buku dari juz satu hingga 30.
            Mereka yang tak sempurna saja mau belajar membaca Alquran dan rajin melantunkannya. Sungguh tak tahu akan dihadapkan ke mana wajah ini apabila ada orang yang sempurna matanya tapi tertutup mata hatinya untuk membaca kitab suci. Bayangkan bahwa Allah sedang memanggil-manggil kita dan ingin sekali kita membaca Kitab-Nya. Bayangkan bahwa Rasulullah dan Sahabat selalu terpanggil dan rindu ketika membacanya. Bayangkan mereka selalu bergetar dan menangis ketika membacanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar