Blue Fire Pointer AIRPLANE IN THE SKY: Pengalaman Menjadi Tergugat dalam Sidang Perkara Perdata

Selasa, 21 Juni 2016

Pengalaman Menjadi Tergugat dalam Sidang Perkara Perdata




Suasana lobi Pengadilan Negeri ABC cukup sepi. Tampaknya masih terlalu pagi untuk menunggu kehadiran Penggugat, Tergugat II, dan Tergugat III. Hampir dua jam berlalu sejak waktu yang tertera dalam relaas panggilan hingga akhirnya para pihak lengkap.
            Semua berdiri menyambut majelis hakim memasuki ruang sidang. Setelah  majelis hakim duduk, ketua majelis mempersilahkan para pihak (Penggugat dan Tergugat) menempati tempat masing-masing.
            Agenda pertama adalah pemeriksaan identitas yang didahului dengan pemeriksaan identitas Penggugat. Selanjutnya giliran pemeriksaan identitas Tergugat yang meliputi Surat Kuasa Umum (SKU), Surat Tugas (ST), dan kartu identitas dari instansi tempat bekerja. Pada saat itu kami selaku Tergugat I belum membawa SKU dikarenakan masih dalam proses penandatanganan masing-masing kuasa dari 3 (tiga) unit kerja, yaitu Kantor Pusat DJP, Kanwil DJP, dan KPP Pratama. Setelah bermusyawarah, majelis hakim menyatakan sidang tetap dilanjutkan dengan konsekuensi pada persidangan berikutnya Tergugat I harus melengkapi SKU nya. Berdasarkan Pasal 123 ayat (2) HIR, pegawai yang karena peraturan umum, menjalankan perkara untuk Indonesia sebagai wakil negeri, tidak perlu memakai surat kuasa yang teristimewa yang sedemikian itu. Oleh sebab itu, hanya berbekal ST tanpa SKU sudah cukup syarat bagi pegawai instansi untuk menduduki singgasana Tergugat. Spesialnya lagi, pegawai yang mewakili instansi tidak perlu berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum, berbeda dengan advokat.
            Agenda selanjutnya adalah mediasi. Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Mediator boleh Hakim dan boleh pula pihak luar yang memiliki Sertifikat Mediator. Pada saat itu salah satu hakim di Pengadilan  Negeri tersebut (di luar hakim yang memeriksa perkara) ditunjuk untuk menjadi mediator karena para pihak tidak menawarkan mediator dari pihak luar.
            Mediasi dilakukan di ruangan yang terpisah dari ruang sidang. Hakim Mediator menjelaskan prosedur mediasi ditempuh paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penetapan perintah melakukan mediasi. Atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat diperpanjang palimng lama 30 (tiga puluh) hari. Apabila mediasi berhasil, kesepakatan secara tertulis dituangkan dalam Kesepakatan Perdamaian. Artinya, gugatan dicabut dan persidangan tidak dilanjutkan. Namun apabila mediasi gagal mencapai kesepakatan, dibuat pemberitahuan tertulis kepada hakim pemeriksa perkara. Artinya, pemeriksaan perkara dilanjutkan sesuai dengan hukum acara yang berlaku.
            Pada kesempatan pertama Hakim Mediator menanyakan kepada Penggugat apa yang Penggugat inginkan dalam perkara ini. Penggugat menjawab bahwa ia bersikukuh dengan apa yang tertuang dalam Gugatannya. Hakim Mediator menjelaskan bahwa jika bertahan pada Gugatan, mediasi menjadi tak ada gunanya. Mediasi bertujuan mencari jalan tengah yang padan bagi Penggugat maupun Tergugat. Namun Penggugat tetap berpegang pada Gugatannya. Hakim Mediator menanyakan  kepada Tergugat I apakah mau mengabulkan apa yang diminta oleh Penggugat. Tentunya jawaban tidak yang didapat dari Tergugat I. Tergugat I meminta waktu untuk memberikan tanggapan karena harus berdiskusi terlebih dahulu dengan prisipal.

Tulisan oleh: Febby Mellisa
Sumber gambar: http://assets.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar