Padang (18/9). Pagi yang
cerah. Usai melakukan wawancara ke Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Padang bersama
Ditya, kami pun berpisah. Ditya pulang ke kontrakannya di Limau Manih. Sedangkan
saya menuju kantor pengadilan untuk menjemput mami. Kami berencana akan ke
sekolah Fenny (adikku) untuk mengurus suatu hal.
Si Putih melaju dengan
mantap. Ia sangat jinak terhadapku yang terkadang menginjak pedal sesuka hati.
Namun kali ini aku tidak menginjaknya begitu dalam karena nasihat mami terekam
jelas di ingatanku, “Jangan ngebut!”
Di persimpangan, dekat
dengan kantor Pengadilan Negeri Jl Khatib Sulaiman, mobil di depanku berjalan
pelan karena ia akan berbelok. Maka aku pun mengiringi dengan pelan.
Bagaimanapun yang belakang adalah follower.
“Brukkkkk!!!!” Tiba-tiba
terdengar suara kencang. Bersyukur aku memakai sabuk pengaman yang membalut
tubuhku mengurangi daya hentakan. Orang-orang sekitar melihat ke arahku. “Ya
Allah sayakah yang ditabrak?” Benar, mulut Innova menghantam ekor Si Putih. Aku
pun lemas dan berjalan pelan. Tampaknya Innova berhasil menambah rentetan
panjang goresan Si Putih. Sang pengendara membuka kaca jendelanya dan ia turun.
Aku hanya berjalan pelan kemudian berhenti. Daaannn”Huaaaaaaaaaaaaa........ :(” Aku menelpon mami.
“Tok tok tok...” suara
kaca jendelaku diketok. “Ibu, maafkan saya. Yah namanya juga kecelakaan. Saya
tidak menduga. Saya mengerti perasaan ibu, Saya juga pernah ditabrak. Terserah
ibu mau di bawa ke mana. Ke polisi juga tak apa. Saya akan bertanggung jawab.
Kalau ibu mau, kita bisa bicarakan ini baik-baik.”
Terdiam... Aku pun turun
melihat kemalangan Si Putih. Oh Tuhan, lampu belakang pecah, bemper nyaris
patah, pintu belakang penyok dengan beberapa goresan. Walhasil depan belakang
cacat. Oh ya, aku sewaktu masih belajar pernah menggesekkan si Putih ke pagar
rumah nenek.
Tak berselang lama, mami
pun datang. Si Bapak mengaku senantiasa berzikir membawa kendaraan. Ia hanya
membawa mobil perusahaan. Tak hanya Si Putih yang cedera. Pintu Innova itu bahkan
bergeser. Yah walaupun mulut besinya baik-baik saja.
Sebenarnya terbit rasa
iba pada si Bapak yang pensiuan perusahaan tambang ini. Ia bukanlah orang yang
berada. Namun ia jujur dan mau bertanggung jawab. Padahal kalau mau lari ia
bisa saja. Dari cara berbicara si Bapak pun aku melihat etika tingkat tinggi
dalam dirinya. Terlihat ia tak menyalahkanku sedikitpun. Biasanya ada orang
yang kalau salah malah mencari-cari kesalahan orang lain.
“Saya akan bertanggung
jawab, Bu. Namun saya mohon diringankan,” ucapnya kepada mami dan juga Om Joni
yang turut berada di lokasi. Negosiasi berakhir dengan sebuah kesepakatan. Aku
hanya terdiam, mengamati sebuah pelajaran berharga.