Momentum 10 November yang hadir secara periodik dalam bingkai waktu
pertahunnya mengingatkan kita akan perjuangan heroik arek-arek Suroboyo 66
tahun silam. Pertempuran yang terjadi merupakan perang pertama Indonesia
melawan pihak asing setelah pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di
Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta pada 17 Agustus 1945.
Merupakan hal yang urgen bagi kita sebagai bangsa yang beradap dan
menghargai perjuangan untuk merefleksikan jejak Hari Pahlawan. Meminjam kalimat Bung
Karno “Jas Merah: Jangan sekali-kali
melupakan sejarah.” Sejarah itu ibarat cermin. Imajinasikan ketika
seseorang memakai dasi sambil bercermin. Apabila bayangan dasi yang dipantulkan
sudah rapi dan bagus, kita boleh beranjak pergi. Sebaliknya apabila dasi tampak
miring atau justru tak sepadan dengan pakaian yang kita kenakan, kita harus
menggantinya dengan dasi yang lebih pas.
Sedikit mengulang memori
mengenai tragedi Pertempuran Surabaya. Bermula dari keluarnya Maklumat
Pemerintah 31 Agustus 1945 yang menetapkan mulai 1 September 1945, bendera
Nasional Sang Saka Merah Putih wajib dikibarkan terus di seluruh di seluruh
wilayah Indonesia. Gerakan pengibaran bendera tersebut mengekspansi sampai ke
segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera tersebut
terjadi pada insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato. Bermodalkan
rasa persatuan dan cinta tanah air, Soedirman dan Koesno Wibowo menurunkan bendera dan merobek warna
birunya kemudian mengibarkan kembali bendera yang hanya tinggal warna merah dan
putih. Peristiwa tersebut menjadi ‘umpan’ atas meletusnya pertempuran antara
Indonesia dengan Inggris yang membonceng India.
Salah satu pahlawan
bangsa yang termasyur dalam pertempuran ini adalah Bung Tomo. Siapa yang tak
pernah mencium harumnya nama Bung Tomo. Ia lah sang pemimpin revolusioner yang
menggerakkan semangat perlawanan angkatan muda Surabaya. Ia lah pionir pada
pertempuran berdarah yang merenggut ribuan korban jiwa baik dari pihak
Indonesia maupun pihak asing. Ia lah yang namanya tercetak pada buku sejarah
dari bangku SD sampai bangku SMA bahkan bangku perguruan tinggi untuk jurusan
tertentu. Semangatnya yang bagai baja bisa menjadi motivasi bagi generasi kita.
Gelar Yang
Tak Mudah Disandang
Zaman sekarang susah untuk
menjadi pahlawan nasional. Persyaratannya sangat banyak. Bukan berarti zaman
dahulu lebih mudah, tetapi kualitas dan jati diri pahlawan itu yang susah
dipenuhi. Pahlawan nasional harus memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi,
berimplikasi pada pengabdian dan perjuangannya yang hampir sepanjang hidup dan
menimbulkan dampak luas. Bahkan presiden yang notabene memegang mayoritas
legitimasi kekuasaan pun harus berlapang dada. Contohnya saja mantan presiden
Soeharto dan Abdurrahman Wahid.
Beranjak ke SBY, bisa dikatakan malang.
Melihat kotak histori keberhasilan orang nomor satu di Indonesia itu, tak
sedikit prestasi yang mampu digenggam. Beberapa di antaranya adalah menurunnya
angka kemiskinan dan pengangguran, proses perbaikan iklim investasi dan
pelayanan publik di banyak daerah, kehidupan demokrasi berkembang, dan
membaiknya pemberantasan korupsi serta penegakan hukum.
“Di ujung timur mentari
bersinar. Seberkas harapan tanah Tuhan. Jangan biarkan, dan jangan siakan
manisnya kehidupan di hadapan. Ayo kawan langkahkan kaki. Tegar dan yakin diri.
Janji Tuhan kita wujudkan. Impian jadi kenyataan” Demikian penggalan lirik lagu ciptaan SBY. Lagu
ini pernah digemakan kepada hadirin peserta upacara dan tamu undangan pada
upacara peringatan HUT ke-65 Kemerdekaan RI di Istana Merdeka, Selasa (17/8).
Musik dan lagu juga mampu membangkitkan jiwa patriotisme dan
nasionalisme. Siapapun boleh mengukir karya seni, siapapun boleh menciptakan
lagu dan mengaransemen musik, siapapun boleh bersenandung di depan khalayak
ramai. Tak ada satupun aturan hukum positif negeri ini yang secara eksplisit
menyatakan larangan seseorang melakukan
hal tersebut termasuk juga seorang presiden. Namun tampaknya hal ini
justru menjadi boomerang. Kritikan dari berbagai kalangan mengalir kian deras.
Dulu ia begitu dipuja, kini ia cenderung dihujat. Mentari tak selamanya
bersinar.
Pahlawan Tanpa SK
Kita tidak sedang menghadapi peperangan. Kita juga sudah merdeka dari
penjajahan dan perbudakan. Tak ada senapan ataupun bambu runcing dalam hal ini.
Tapi kita butuh sosok pahlawan yang bijak dan berani. Bijak mengambil tindakan
yang tepat sasaran dan berani menumpas pelanggaran hukum demi kemaslahatan
umat.
Bangsa kita sedang
berduka. Berduka karena tak tahu harus percaya pada siapa untuk benar-benar
membenahi negeri ini. Amanah atas janji suci tak lagi dapat dipegang. Kita
rindu akan pahlawan yang mampu menyembuhkan luka-luka bangsa. Mulai dari kasus korupsi sampai TKI, mulai dari ressufle menteri sampai konflik di Bumi Cendrawasih. Semuanya
menghantui ketentraman rakyat.
Baiklah, berhenti untuk terus-menerus menyalahkan penguasa karena
kurang mendidik pribadi sendiri. Seperti yang telah penulis sampaikan, tak
semudah membalikkan telapak tangan untuk menjadi pahlawan nasional. Para
pejuang tersebut harus mendapatkan Surat Keputusan (SK) Presiden terlebih
dahulu sebagai kunci gerbang. Kita pernah mendengar istilah ‘Pahlawan Tanpa
Tanda Jasa’. Mereka adalah guru yang telah berjasa besar dalam memainkan peran
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun tak ada tanda jasa apapun yang
diterimanya. Meskipun begitu para guru
tetap bersemangat menjaga komitmen untuk mendidik putra dan putri bangsa calon
pembesar negeri.
Kita teladani semangat guru. Saatnya menumbuhkan jiwa kepahlawanan
dalam diri kita. Bagaimana kita bisa merubah nasib bangsa jika tak bisa merubah
nasib diri sendiri. Semua orang berpeluang menjadi pahlawan. Yang perlu kita
rawat dengan subur adalah sikap rela berkorban, pantang menyerah, dan peduli
sesama. ‘Pahlawan Tanpa SK’, akan senantiasa melakukan kebajikan dengan
keikhlasan dan kerendahan hati.
Untuk menjadi ‘Pahlawan Tanpa SK’ tidaklah sulit. Asal ada kemauan,
pasti ada jalan. Salah satu hal yang dapat kita lakukan misalnya dengan
memakukan kejujuran pada kertas kehidupan.
Kejujuran harus diterapkan dalam hal kecil sekalipun karena dari hal
yang kecil kita bisa membangun hal yang besar. Kejujuran merupakan modal utama
dalam menciptakan kredibilitas seseorang maupun lembaga.
Jika kejujuran telah terpatri dalam jiwa, maka sikap
kesewenang-wenangan pun dapat dihindari. Hal dasar tersebut secara otomatis
menggerakkan nurani untuk mematuhi hukum dan tata tertib yang berlaku. Kalau
kita sudah memulai, langkah berikutnya adalah mengingatkan keluarga dan orang
lain. Tak hanya mengingatkan tapi juga membantu mereka meneladani sikap
tersebut. Jika kita semua dapat melakukannya, bayangkan pengaruhnya terhadap
karakter bangsa. Dengan demikian kita adalah pahlawan, meski tanpa SK.
tulisan yang bagus dan bisa menjadi inspirasi.... semoga kita tidak menjadi umat yang selalu hanya bisa menyalahkan pemimpin tanpa mau berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan yang buruk...
BalasHapusijin untuk menjadikan tulisan ini sebagai salah satu isi artikel dalam buletin kami (OpiniKalbar) yang memang sedang mengangkat tema hari pahlawan