Blue Fire Pointer AIRPLANE IN THE SKY: Refleksi Historis Hari Pahlawan

Sabtu, 21 April 2012

Refleksi Historis Hari Pahlawan


Momentum 10 November yang hadir secara periodik dalam bingkai waktu pertahunnya mengingatkan kita akan perjuangan heroik arek-arek Suroboyo 66 tahun silam. Pertempuran yang terjadi merupakan perang pertama Indonesia melawan pihak asing setelah pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta pada 17 Agustus 1945.
Merupakan hal yang urgen bagi kita sebagai bangsa yang beradap dan menghargai perjuangan untuk merefleksikan jejak Hari Pahlawan. Meminjam kalimat Bung Karno “Jas Merah: Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Sejarah itu ibarat cermin. Imajinasikan ketika seseorang memakai dasi sambil bercermin. Apabila bayangan dasi yang dipantulkan sudah rapi dan bagus, kita boleh beranjak pergi. Sebaliknya apabila dasi tampak miring atau justru tak sepadan dengan pakaian yang kita kenakan, kita harus menggantinya dengan dasi yang lebih pas.
Sedikit mengulang memori mengenai tragedi Pertempuran Surabaya. Bermula dari keluarnya Maklumat Pemerintah 31 Agustus 1945 yang menetapkan mulai 1 September 1945, bendera Nasional Sang Saka Merah Putih wajib dikibarkan terus di seluruh di seluruh wilayah Indonesia. Gerakan pengibaran bendera tersebut mengekspansi sampai ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera tersebut terjadi pada insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato. Bermodalkan rasa persatuan dan cinta tanah air, Soedirman dan Koesno  Wibowo menurunkan bendera dan merobek warna birunya kemudian mengibarkan kembali bendera yang hanya tinggal warna merah dan putih. Peristiwa tersebut menjadi ‘umpan’ atas meletusnya pertempuran antara Indonesia dengan Inggris yang membonceng India.
Salah satu pahlawan bangsa yang termasyur dalam pertempuran ini adalah Bung Tomo. Siapa yang tak pernah mencium harumnya nama Bung Tomo. Ia lah sang pemimpin revolusioner yang menggerakkan semangat perlawanan angkatan muda Surabaya. Ia lah pionir pada pertempuran berdarah yang merenggut ribuan korban jiwa baik dari pihak Indonesia maupun pihak asing. Ia lah yang namanya tercetak pada buku sejarah dari bangku SD sampai bangku SMA bahkan bangku perguruan tinggi untuk jurusan tertentu. Semangatnya yang bagai baja bisa menjadi motivasi bagi generasi kita.
Gelar Yang Tak Mudah Disandang
Zaman sekarang susah untuk menjadi pahlawan nasional. Persyaratannya sangat banyak. Bukan berarti zaman dahulu lebih mudah, tetapi kualitas dan jati diri pahlawan itu yang susah dipenuhi. Pahlawan nasional harus memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi, berimplikasi pada pengabdian dan perjuangannya yang hampir sepanjang hidup dan menimbulkan dampak luas. Bahkan presiden yang notabene memegang mayoritas legitimasi kekuasaan pun harus berlapang dada. Contohnya saja mantan presiden Soeharto dan Abdurrahman Wahid.
Beranjak ke SBY, bisa dikatakan malang. Melihat kotak histori keberhasilan orang nomor satu di Indonesia itu, tak sedikit prestasi yang mampu digenggam. Beberapa di antaranya adalah menurunnya angka kemiskinan dan pengangguran, proses perbaikan iklim investasi dan pelayanan publik di banyak daerah, kehidupan demokrasi berkembang, dan membaiknya pemberantasan korupsi serta penegakan hukum.
 “Di ujung timur mentari bersinar. Seberkas harapan tanah Tuhan. Jangan biarkan, dan jangan siakan manisnya kehidupan di hadapan. Ayo kawan langkahkan kaki. Tegar dan yakin diri. Janji Tuhan kita wujudkan. Impian jadi kenyataan” Demikian penggalan lirik lagu ciptaan SBY. Lagu ini pernah digemakan kepada hadirin peserta upacara dan tamu undangan pada upacara peringatan HUT ke-65 Kemerdekaan RI di Istana Merdeka, Selasa (17/8).
Musik dan lagu juga mampu membangkitkan jiwa patriotisme dan nasionalisme. Siapapun boleh mengukir karya seni, siapapun boleh menciptakan lagu dan mengaransemen musik, siapapun boleh bersenandung di depan khalayak ramai. Tak ada satupun aturan hukum positif negeri ini yang secara eksplisit menyatakan larangan seseorang melakukan  hal tersebut termasuk juga seorang presiden. Namun tampaknya hal ini justru menjadi boomerang. Kritikan dari berbagai kalangan mengalir kian deras. Dulu ia begitu dipuja, kini ia cenderung dihujat. Mentari tak selamanya bersinar.
Pahlawan Tanpa SK
Kita tidak sedang menghadapi peperangan. Kita juga sudah merdeka dari penjajahan dan perbudakan. Tak ada senapan ataupun bambu runcing dalam hal ini. Tapi kita butuh sosok pahlawan yang bijak dan berani. Bijak mengambil tindakan yang tepat sasaran dan berani menumpas pelanggaran hukum demi kemaslahatan umat.
Bangsa kita sedang berduka. Berduka karena tak tahu harus percaya pada siapa untuk benar-benar membenahi negeri ini. Amanah atas janji suci tak lagi dapat dipegang. Kita rindu akan pahlawan yang mampu menyembuhkan luka-luka bangsa. Mulai dari kasus korupsi sampai TKI, mulai dari ressufle menteri sampai konflik di Bumi Cendrawasih. Semuanya menghantui ketentraman rakyat.
Baiklah, berhenti untuk terus-menerus menyalahkan penguasa karena kurang mendidik pribadi sendiri. Seperti yang telah penulis sampaikan, tak semudah membalikkan telapak tangan untuk menjadi pahlawan nasional. Para pejuang tersebut harus mendapatkan Surat Keputusan (SK) Presiden terlebih dahulu sebagai kunci gerbang. Kita pernah mendengar istilah ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’. Mereka adalah guru yang telah berjasa besar dalam memainkan peran untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun tak ada tanda jasa apapun yang diterimanya.  Meskipun begitu para guru tetap bersemangat menjaga komitmen untuk mendidik putra dan putri bangsa calon pembesar negeri.
Kita teladani semangat guru. Saatnya menumbuhkan jiwa kepahlawanan dalam diri kita. Bagaimana kita bisa merubah nasib bangsa jika tak bisa merubah nasib diri sendiri. Semua orang berpeluang menjadi pahlawan. Yang perlu kita rawat dengan subur adalah sikap rela berkorban, pantang menyerah, dan peduli sesama. ‘Pahlawan Tanpa SK’, akan senantiasa melakukan kebajikan dengan keikhlasan dan kerendahan hati.
Untuk menjadi ‘Pahlawan Tanpa SK’ tidaklah sulit. Asal ada kemauan, pasti ada jalan. Salah satu hal yang dapat kita lakukan misalnya dengan memakukan kejujuran pada kertas kehidupan.  Kejujuran harus diterapkan dalam hal kecil sekalipun karena dari hal yang kecil kita bisa membangun hal yang besar. Kejujuran merupakan modal utama dalam menciptakan kredibilitas seseorang maupun lembaga.
Jika kejujuran telah terpatri dalam jiwa, maka sikap kesewenang-wenangan pun dapat dihindari. Hal dasar tersebut secara otomatis menggerakkan nurani untuk mematuhi hukum dan tata tertib yang berlaku. Kalau kita sudah memulai, langkah berikutnya adalah mengingatkan keluarga dan orang lain. Tak hanya mengingatkan tapi juga membantu mereka meneladani sikap tersebut. Jika kita semua dapat melakukannya, bayangkan pengaruhnya terhadap karakter bangsa. Dengan demikian kita adalah pahlawan, meski tanpa SK.

1 komentar:

  1. tulisan yang bagus dan bisa menjadi inspirasi.... semoga kita tidak menjadi umat yang selalu hanya bisa menyalahkan pemimpin tanpa mau berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan yang buruk...

    ijin untuk menjadikan tulisan ini sebagai salah satu isi artikel dalam buletin kami (OpiniKalbar) yang memang sedang mengangkat tema hari pahlawan

    BalasHapus