Blue Fire Pointer AIRPLANE IN THE SKY: Kisah Hakim dan Penjual Kelapa Muda

Sabtu, 21 April 2012

Kisah Hakim dan Penjual Kelapa Muda


http://4.bp.blogspot.com
Tumpukan perkara, dilema dalam menjunjung aturan hukum dan keadilan, penatnya membuat putusan hakim, ricuhnya ruang sidang, menjadi latar belakang dalam proposal kegiatan jalan-jalan bersama. Sebagai ajang refreshing bagi segenap penghuni Pengadilan Negeri Pekanbaru, maka diadakanlah acara keliling Sumbar pada hari Jumat-Minggu. Acara tersebut diikuti oleh 80-an orang dari kalangan hakim, pegawai, dan ada juga yang membawa keluarganya. Sebagian besar dari mereka adalah orang Sumbar, mudah saja mengetahuinya ketika mendengar mereka berbincang-bincang.

Saya dan adik saya, Fenny, menaiki travel pada Sabtu pagi dari Padang ke Bukit Tinggi karena diajak oleh orang tua. Dana yang dibutuhkan untuk acara ini tidak tanggung-tanggung, 40an juta. Dari manakah dana ini berasal? Ternyata para hakim yang berjumlah sekitar 13 orang berpatungan menyumbangkan sebagian rezeki mereka.

Minggu pagi, setelah sarapan di Hotel Lima’s Bukit Tinggi, rombongan yang terdiri dari 2 bus dan 6 mobil bergegas menuju kota Padang. Mereka yang satu bus denganku ada yang tua ada yang muda. Bahkan ada yang selisih umurnya denganku tidak begitu jauh. Tak sedikitpun terlihat kesenjangan usia tersebut karena mereka membaur. Bukan hanya karena berasal dari lembaga yang sama, tapi tampaknya benih-benih persaudaraan mulai tumbuh.

Sekitar pukul 13.00, kami tiba di Pantai Carolina.  Bagi orang Pekanbaru, tentunya ini menjadi sesuatu yang jarang karena Pekanbaru tidak memiliki pantai. Nasi bungkus menentramkan deringan lapar perut kami. Namun air putih yang tersedia tidak menjadi penutup yang nikmat. Kelapa muda menjadi pilihan. Beberapa orang memesannya.

Hakim 1: Pak, bara hargonyo ko?
Penjual : Rp 10.000, Pak.
Hakim 1 : Baa kok maha bana, Pak? Karambianyo ndak lo badagiang do (dengan nada terkejut).
Penjual : Ko rancak ko ma, Pak! (berusaha membela diri, padahal kelapa muda tersebut ukurannya kecil dan nyaris tak berdaging).
Pegawai : Apak jan mode tu, mentang-mentang kami rami!!! (kesal).
Hakim 2 : Sudah, sudah semuanya.  Tak ada gunanya rebut di sini. Bagi yang mau beli silahkan beli.
Suasana kembali tenang dan damai.
Hakim 2 : Emank biasanya berapa harganya Pak?
Hakim 1 : Sekitar Rp 4.000-5.000, Pak, entahlah kenapa penjualnya begitu.
Hakim 2 : Ya sudahlah, Pak. Mungkin ini sudah rezekinya dia. Lagian jarang-jarang kan bisa seperti ini (tersenyum).
Hakim 1 : Iya juga ya, Pak (tersenyum).

Jika diperhatikan sejenak, tindakan penjual tersebut dapat dikategorikan sebagai price discrimination atau pemberian harga yang berbeda atas barang yang dibeli oleh setiap konsumen.  Memberikan harga lebih mahal pada kalangan tertentu dan wilayah pemasaran tertentu.

Namun jika ditilik dari segi nurani, seseorang yang mengadu nasib dengan menjadi penjual  kelapa muda. Ia harus ‘bertarung’ dengan penjual eskrim, es cendol, minuman kemasan, bahkan sesama penjual kelapa muda.  Bila pengunjung pantai ramai, kemungkinan labanya bertambah, bila sebaliknya maka sedikit untung yang didapat, bahkan mungkin devisit. Jika para hakim tersebut harus memilih ingin menjadi seorang penjual kelapa muda dengan gerobak serta kelapa dan parang atau seorang hakim dengan palu dan singgasana di ruang sidang, saya yakin 99,99% mereka tak ingin bertukar nasib.

Untuk hotel, makan, pesta malam,  dan biaya perjalanan lainnya saja memakan biaya puluhan juta, apa salahnya membeli kelapa muda dengan harga Rp 10.000/buahnya. Tak perlu khawatir karena rezeki seseorang takkan tertukar. Yang penting kita berusaha dan ikhlas membantu sesama.

Sudah adilkah???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar