http://4.bp.blogspot.com |
Tumpukan perkara, dilema dalam
menjunjung aturan hukum dan keadilan, penatnya membuat putusan hakim, ricuhnya
ruang sidang, menjadi latar belakang dalam proposal kegiatan jalan-jalan
bersama. Sebagai ajang refreshing bagi segenap penghuni Pengadilan Negeri
Pekanbaru, maka diadakanlah acara keliling Sumbar pada hari Jumat-Minggu. Acara
tersebut diikuti oleh 80-an orang dari kalangan hakim, pegawai, dan ada juga
yang membawa keluarganya. Sebagian besar dari mereka adalah orang Sumbar, mudah
saja mengetahuinya ketika mendengar mereka berbincang-bincang.
Saya dan adik saya, Fenny, menaiki travel pada Sabtu pagi dari
Minggu pagi, setelah sarapan di Hotel Lima’s Bukit Tinggi, rombongan yang terdiri dari 2 bus dan 6 mobil bergegas menuju
Sekitar pukul 13.00, kami tiba di Pantai
Hakim 1: Pak, bara hargonyo ko?
Penjual : Rp 10.000, Pak.
Hakim 1 : Baa kok maha bana, Pak?
Karambianyo ndak lo badagiang do (dengan nada terkejut).
Penjual : Ko rancak ko ma, Pak! (berusaha membela diri, padahal kelapa muda
tersebut ukurannya kecil dan nyaris tak berdaging).
Pegawai : Apak jan mode tu, mentang-mentang kami rami!!! (kesal).
Hakim 2 : Sudah, sudah
semuanya. Tak ada gunanya rebut di sini. Bagi yang mau beli
silahkan beli.
Suasana kembali tenang dan damai.
Hakim 2 : Emank biasanya berapa harganya Pak?
Hakim 1 : Sekitar Rp 4.000-5.000, Pak, entahlah kenapa penjualnya begitu.
Hakim 2 : Ya sudahlah, Pak. Mungkin ini sudah rezekinya dia. Lagian
jarang-jarang kan bisa seperti ini (tersenyum).
Hakim 1 : Iya juga ya, Pak (tersenyum).
Jika diperhatikan sejenak, tindakan penjual tersebut dapat dikategorikan sebagai price discrimination atau pemberian harga yang berbeda atas barang yang dibeli oleh setiap konsumen. Memberikan harga lebih mahal pada kalangan tertentu dan wilayah pemasaran tertentu.
Namun jika ditilik dari segi nurani, seseorang yang mengadu nasib dengan menjadi penjual kelapa muda. Ia harus ‘bertarung’ dengan penjual eskrim, es cendol, minuman kemasan, bahkan sesama penjual kelapa muda. Bila pengunjung pantai ramai, kemungkinan labanya bertambah, bila sebaliknya maka sedikit untung yang didapat, bahkan mungkin devisit. Jika para hakim tersebut harus memilih ingin menjadi seorang penjual kelapa muda dengan gerobak serta kelapa dan parang atau seorang hakim dengan palu dan singgasana di ruang sidang, saya yakin 99,99% mereka tak ingin bertukar nasib.
Untuk hotel, makan, pesta malam, dan biaya perjalanan lainnya saja memakan biaya puluhan juta, apa salahnya membeli kelapa muda dengan harga Rp 10.000/buahnya. Tak perlu khawatir karena rezeki seseorang takkan tertukar. Yang penting kita berusaha dan ikhlas membantu sesama.
Sudah adilkah???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar