Sorotan lampu jalan
menusuk mataku. Ah, bodoh ya, untuk apa aku menatap lampu. Kolam lamunan itu
memperbudakku. Mungkin karena hasrat ‘pengen ngemil’ yang menggebu-gebu maka
aku tak bisa berpikiran sejernih air. Terdengar suara penjual kue putu. Pas
sekali, sudah lama lidahku tak bermain dengan kelezatannya yang khas. Dulu
waktu aku masih bersekolah di SDN 200104 Padang Sidempuan, Sumatra Utara, aku
senang dengan waktu malam, karena ayah akan membelikan kue putu.
Ketika aku memesan
beberapa buah kepada abang penjual, telepon genggamku berdering. Ternyata ada
pesan singkat masuk. Pengirimnya menanyakan apakah aku sudah makan. Haahhhh,
aku tak suka pertanyaan itu. Apa ia tak pernah memperhatikan pipiku, kalau ia
perhatian seharusnya ia tahu bahwa aku tak pernah melewatkan waktu makan.
Baiklah, kita tinggalkan
saja si pengirim pesan singkat itu. Kini kunikmati makanan ringan berwarna
hijau dengan taburan gula putih dan kelapa parut di atasnya. Hmm, harumnya yang
semerbak menggodaku. Buru-buru aku menggigitnya. Aww, gula merah cair merekah
di lidahku, panaaasss… Hufthh hufthh, hembusku. Aku tak bisa membaca alam.
Dalam beberapa hal,
mungkin kue putu itu bisa seperti manusia ya. Kita mulai mengenalnya dengan
cara yang baik, mendekatinya dengan cara yang baik, berteman dengan cara yang
baik, jatuh cinta dengan cara yang baik, sejauh ini masih baik-baik saja. Tapi
kalau kita tidak bersabar dan berlaku semena-mena, semuanya bisa menjadi buruk,
seperti kue putu yang membakar lidah. Kue
putu sedang mengajariku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar