”Jika aku jadi
air matamu,
Aku akan lahir
dari matamu, hidup di pipimu, dan mati di bibirmu.
Tapi,
kalau kau yang
jadi air mataku,
aku tidak akan
menangis.
Karena aku tak
mau kehilangan orang sepertimu.”
Sentak kata-kata
ini mengenyuhkan hatiku. Aku yang tlah lama kehilangan sebelah sayapku. Aku
yang merasa sepi di kota tidur. Sekarang aku merasa bagai Saturnus yang
dilengkapi satelit berbentuk cincin yang melindunginya, yang membuatnya indah,
yang membuatnya berbeda dari planet lainnya.
Seseorang yang
kukenal melalui telepon genggam, yang sering mengusik sunyiku dengan ’miscall’.
Setiap ku pencet tombol hijau, selalu diiringi bunyi ”tuut tuut tuut”. Katanya
I-Ring aku bagus, ”Sweet Dream” by Jang Nara.
Ketika reseptor
menerima implus, kemudian diteruskan ke akson, neuron, hingga efektor. Maka aku
semakin merasa kalau sosok ini telah membuatku penasaran. Aku dan dia berasal
dari kota yang berbeda. Lalu kami berjanji untuk bertemu di sebuah tempat,
tempat yang tidak spesial, di pinggir jalan. Hanya untuk sekedar mengenyahkan
rasa penasaran.
”Haloo. Kamu di
mana? Aku pakai baju kuning, rok ungu.” ”Ya, udah dekat. Tunggu ya.” Sesaat
kemudian muncul sosok pria tinggi, tegap, berkacamata minus 2, mata sipit,
giginya sangat rapi. Rupa yang elok, ternyata dia seorang model dan penyanyi
kota. Dia tersenyum. Aku menunduk, tak berani menatap wajahnya. Karena ku takut
itu kan runtuhkan imanku.
Dia sangat ramah.
Sepertinya aku menyukainya. Lama kami menjalin hubungan ICTS (Ikatan Cinta
Tanpa Status) melalui telepon genggam. Hingga sebuah pertanyaan mengagetkanku.
”Kamu mau gak jadi pacar aku?” Sebenarnya aku sangat bahagia dia mengatakan
ini. Namun prinsip fundamental yang sudah berdiri kokoh sejak kecil tak semudah
itu rubuh. Dengan lembut aku menolaknya. ”Aku akan menunggumu sampai kapanpun,”
ucapnya penuh keyakinan.
Lama tak ada
kabarnya. Tiba-tiba aku mendapat pesan singkat darinya, ”Maaf,aku sudah punya
pacar.” Hatiku dihajar petir dengan bunyi 100.000 Hz. Dibantai boomerang
Australia bertubi-tubi. Dipecahkan secara ’souvernity’ bagai Unisoviet. Apa ini
yang dia bilang ”akan menunggu sampai kapanpun?” Ingin sekali rasanya air mata
ini jatuh secepatnya ditarik gravitasi bumi, namun daya otot mataku yang
sempurna mencagahnya sekuat tenaga karena hatiku berkata bahwa ’dia telah
menjadi air mataku’, dan aku benar-benar tak mau kehilangannya.
Ah, itu hanya
sepenggal kisah lamaku. Yang sudah tutup buku dalam Catatan Akhir Tahun. Yang
telah ’ctrl-a-delete’ dari organ di belakang rusuk kiriku. Seiring berjalannya
waktu dan dikumandangkannya suara adzan yang saling sahut-menyahut bagian demi
bagian belahan bumi, aku telah melupakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar