Blue Fire Pointer AIRPLANE IN THE SKY: CERPEN PERTAMAKU

Sabtu, 21 April 2012

CERPEN PERTAMAKU


”Jika aku jadi air matamu,
Aku akan lahir dari matamu, hidup di pipimu, dan mati di bibirmu.
Tapi,
kalau kau yang jadi air mataku,
aku tidak akan menangis.
Karena aku tak mau kehilangan orang sepertimu.”

Sentak kata-kata ini mengenyuhkan hatiku. Aku yang tlah lama kehilangan sebelah sayapku. Aku yang merasa sepi di kota tidur. Sekarang aku merasa bagai Saturnus yang dilengkapi satelit berbentuk cincin yang melindunginya, yang membuatnya indah, yang membuatnya berbeda dari planet lainnya.

Seseorang yang kukenal melalui telepon genggam, yang sering mengusik sunyiku dengan ’miscall’. Setiap ku pencet tombol hijau, selalu diiringi bunyi ”tuut tuut tuut”. Katanya I-Ring aku bagus, ”Sweet Dream” by Jang Nara.

Ketika reseptor menerima implus, kemudian diteruskan ke akson, neuron, hingga efektor. Maka aku semakin merasa kalau sosok ini telah membuatku penasaran. Aku dan dia berasal dari kota yang berbeda. Lalu kami berjanji untuk bertemu di sebuah tempat, tempat yang tidak spesial, di pinggir jalan. Hanya untuk sekedar mengenyahkan rasa penasaran.

”Haloo. Kamu di mana? Aku pakai baju kuning, rok ungu.” ”Ya, udah dekat. Tunggu ya.” Sesaat kemudian muncul sosok pria tinggi, tegap, berkacamata minus 2, mata sipit, giginya sangat rapi. Rupa yang elok, ternyata dia seorang model dan penyanyi kota. Dia tersenyum. Aku menunduk, tak berani menatap wajahnya. Karena ku takut itu kan runtuhkan imanku.

Dia sangat ramah. Sepertinya aku menyukainya. Lama kami menjalin hubungan ICTS (Ikatan Cinta Tanpa Status) melalui telepon genggam. Hingga sebuah pertanyaan mengagetkanku. ”Kamu mau gak jadi pacar aku?” Sebenarnya aku sangat bahagia dia mengatakan ini. Namun prinsip fundamental yang sudah berdiri kokoh sejak kecil tak semudah itu rubuh. Dengan lembut aku menolaknya. ”Aku akan menunggumu sampai kapanpun,” ucapnya penuh keyakinan.

Lama tak ada kabarnya. Tiba-tiba aku mendapat pesan singkat darinya, ”Maaf,aku sudah punya pacar.” Hatiku dihajar petir dengan bunyi 100.000 Hz. Dibantai boomerang Australia bertubi-tubi. Dipecahkan secara ’souvernity’ bagai Unisoviet. Apa ini yang dia bilang ”akan menunggu sampai kapanpun?” Ingin sekali rasanya air mata ini jatuh secepatnya ditarik gravitasi bumi, namun daya otot mataku yang sempurna mencagahnya sekuat tenaga karena hatiku berkata bahwa ’dia telah menjadi air mataku’, dan aku benar-benar tak mau kehilangannya.

Ah, itu hanya sepenggal kisah lamaku. Yang sudah tutup buku dalam Catatan Akhir Tahun. Yang telah ’ctrl-a-delete’ dari organ di belakang rusuk kiriku. Seiring berjalannya waktu dan dikumandangkannya suara adzan yang saling sahut-menyahut bagian demi bagian belahan bumi, aku telah melupakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar