Mentari tersenyum menggelitik kulitku . Tanpa komando
keringat berbondong-bondong keluar dari ari-ari. Saat semua terpaku pada
rutinitas masing-masing. Sementara aku terus menapaki jejal berbatu dengan
tatapan kosong hingga akhirnya ku lihat sebuah bangunan seakan menyapaku untuk
mampir. Aku menaiki tangga bangunan abu-abu tersebut. Dengan tertatih aku
sampai di lantai 3.
Sembari
menyandarkan tubuh ke dinding pembatas, mata sayu ini hanya pasrah menatap ke
bawah. Lumayan tinggi juga bangunan ini. Kalau telepon genggam yang melekat di
tanganku ini jatuh, mungkin sudah hancur. Sepintas terlihat orang berlalu
lalang. Inilah kampus yang kudambakan, tapi tak tau mengapa sejauh ini kuhanya
menjadi debu. Tinggal menunggu angin berhembus saja aku bisa terlontar ke
rongsokan.
Di
tengah lamunan singkat, tersentak aku melihat seseorang di lantai 2. Ya, aku
mengenalnya dengan baik. Seketika aku langsung membalikkan badan dan
menghembuskan nafas panjang. Aku berpura-pura tidak melihatnya hingga ia
menyapaku dengan senyuman.
“Ngapain kamu di sini?” ucapnya.
“Tidak tahu,” jawabku ringkas.
Hawa panas berubah menjadi sejuk, tatapan kosong menjadi
penuh arti, dan rasa letih menjadi penuh energi. Semua itu terjadi hanya
dengan kau menyapaku. Hei, sepertinya
sudah lama ya aku tidak melihatmu. Bukan sepertinya, benar sudah lama, tapi aku
tahu rimbamu. Ragaku saja yang berpura-pura tak peduli.
Seseorang tersebut menaiki tangga dan menghampiriku. Kini kami sama-sama menjatuhkan pandangan ke luar
bangunan untuk melihat hamparan rumput hijau berhiaskan permata pantulan cahaya
mentari. Aku ingin keadaan ini berlangsung lama, tapi ia harus bergegas pergi
dikejar rutinitasnya. Aku sendiri lagi tanpa rutinitas, kembali menatap ke
lantai dasar. Tapi kali ini dengan bias senyum…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar