Rabu, 24 April 2013
Senin, 22 April 2013
Ketika Tujuan Ibadah Tak Lagi Karena Cinta
Oleh : Febby Mellisa,
mahasiswa Fakultas Hukum Unand*
![]() |
https://gatotwid.files.wordpress.com |
Bagi pengikut blog saya, tentunya tak asing dengan judul yang diawali dengan “ketika”. Ya, saya memang tertarik dengan kata “ketika”. Menurut saya, kata tersebut memiliki tafsir tersirat, yang dikuatkan oleh kalimat di belakangnya. Tanpa memperpanjang mukaddimah, mari lanjut pembahasan “Ketika Tujuan Ibadah Tak Lagi Karena Cinta”.
Getir kehidupan saya saat ini
meresonasi pikiran ke masa lalu, saat pesantren Ramadhan. Saya begitu termangu
mendengar ceramah dari Ustadz usai shalat Isya berjamaah. Saya memang gemar
shalat berjamaah kala itu karena ingin mendengar ceramah. Dari kecil saya sangat
tertarik dengan hal-hal berbau agama. Bahkan puluhan buku-buku religi menghiasi
rak. Ceramah tersebut berisikan tentang “Tiga Tingkatan Ibadah”.
- Tingkatan terendah. Beribadah “Ibarat buruh mengerjakan perintah majikan”. Sang buruh takut dihukum jika tidak melaksanakan perintah, belum lagi ancaman gaji dipotong atau bahkan tidak dibayar. Intinya, seseorang melakukan ibadah kepada Allah karena takut DOSA.
- Tingkatan menengah. Beribadah “Ibarat karyawan bekerja pada sebuah perusahaan”. Sang karyawan bekerja sebaik mungkin agar dilihat oleh direktur dan mengharapkan kenaikan pangkat atau gaji. Intinya, seseorang melakukan ibadah kepada Allah karena mengharapkan PAHALA.
- Tingkatan tertinggi. Beribadah “Ibarat ibu menyusui anaknya”. Kasih sayang ibu tiada batas kepada sang buah hati. Ibu tak pernah meminta imbalan pada sang anak. Intinya, seseorang melakukan ibadah kepada Allah karena CINTA.
Pernahkah kita berpikir untuk apa
selama ini ibadah yang kita lakukan? Apakah karena takut dosa? Atau mengejar
pahala? Pernahkah kita beribadah tulus karena cinta? Mungkin jawabannya kurang
lebih seperti ini: Saya berjilbab karena
takut dosa bertambah setiap hari; Saya shalat sunnah karena saya pernah
melalaikan sholat, maka untuk menutupinya saya memperbanyak ibadah. Atau
seperti ini: Saya pernah shalat Tahajud saat esoknya ada ujian sekolah; Saya
pernah shalat dhuha saat akan memasuki PTN yang saya pilih; Saya pernah puasa
saat keinginan saya tercapai; Saya bahkan memperpanjang kaji Al-Quran ketika
saya ingin bimbingan saya diperlancar agar cepat wisuda. Termasuk saya, saya
pun khilaf.
Para pembaca budiman, kita manusia
biasa yang mempunyai hawa nafsu dan hasrat duniawi. Tapi mari kita minimalisir
melalui perubahan orientasi tujuan beribadah. Akan sangat indah jika ibadah
dilandasi rasa cinta. Melakukan ibadah kapanpun karena kerinduan dengan Yang
Maha Kuasa. Ada keinginan untuk selalu berkomunikasi dengan Sang Pencipta raga
dan nyawa.
*mahasiswa yang sedang curhat bimbingan
skripsi
Sabtu, 20 April 2013
Ketika Tinta Surat Memudar (Refleksi Hari Kartini)
Oleh: Febby Mellisa, Dewan
Redaksi Genta Andalas
![]() |
http://aregata.xtgem.com |
“Jika
saja masih anak-anak ketika kata-kata 'emansipasi' belum ada bunyinya, belum
berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan
kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi dikala itu telah hidup
didalam hati sanubari saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah
keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri.” (Surat
Kartini kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899)
Raden
Adjeng Kartini, atau yang kita kenal dengan nama Kartini merupakan sosok yang
tak asing lagi di telinga kita. Priyayi asal Jepara ini adalah pelopor kebangkitan
perempuan pribumi. Seratus tiga puluh empat tahun sudah berlalu sejak ibunda M.
A. Ngasirah melahirkannya pada 21 April 1879.
Banyak surat ia tinggalkan beserta pemikirannya akan kebebasan dan
kemandirian kaum hawa seperti petikan salah satu surat di atas.
Emansipasi memang identik dengan kesetaraan gender. Wanita tak
mesti di dapur sembari menunggu suaminya pulang bekerja. Wanita kini bisa
mengecap gradasi pendidikan setinggi-tingginya. Tenaga pengajar wanita bergelar
guru besar juga telah semakin meningkat. Bahkan wanita masa kini sudah mampu melaksanakan
tugas-tugas yang sebelumnya dianggap sebagai tugas pria seperti pilot, sopir
bus, satpam, dan sebagainya.
Emansipasi Yang Kebablasan
Tak hanya mengulik emansipasi wanita
dalam hal pendidikan dan pekerjaan, bahkan wanita era kini kebablasan “memaknai”
kesetaraan gender. Kini catatan buruk yang hanya dimiliki kaum pria juga
dimiliki oleh wanita. Tak perlu jauh-jauh, kasus yang baru saja terjadi di
Bengkulu pertengahan April ini. Seorang Ibu RT bernama Em mencabuli belasan
Anak Baru Gede (ABG) di rumahnya. Pencabulan yang biasanya dilakukan oleh kaum
Adam ternyata terjadi yang katanya untuk pertama kalinya di Indonesia. Tuanya
zaman meruak betapa tidak bermoralnya wanita tersebut. Namun, sang suami, Mis,
tetap mempertahankan istrinya dalam sidang adat untuk tidak menceraikan dan agar
istrinya tidak di usir dari kediamannya. Inikah salah satu contoh “emansipasi”era
kini?
Tak
cukup dengan kasus terkutuk seperti pencabulan. Bahkan merambah ke ranah partai
politik. Jaminan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan khususnya di
bidang pemerintahan dan hukum telah ada dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik mengatur kuota keterlibatan perempuan dalam dunia
politik adalah sebesar 30 persen, terutama untuk duduk di kursi parlemen. Aturan
eksplisit ini membuat partai politik kelabakan. Hingga sekarang, banyak partai
politik yang masih kesulitan menjaring calon anggota legislatif perempuan.
Karena kapasitas tersebut haruslah memiliki kapabilitas yang memadai. Akibatnya
terdapat partai politik yang mendongkrak kuota calon legislatif perempuan bukan
mengandalkan kuatnya sistem kaderisasi melainkan mencaplok calon yang sudah
terkenal (baca: artis). Lagi, emansipasi yang kebablasan.
Tinta Surat
Memudar
Lafadz
surat Kartini kepada Nona Zeehandelaar mengisyaratkan hasrat
sanubari akan kebebasan. Wanita bisa menjadi pemimpin. Wanita bisa melakukan
yang pria bisa lakukan. Tinta-tinta itu kian pudar seiring berjalannya waktu
dengan gaya “emansipasi” yang salah kaprah pada masa sekarang.
Yang harus kita lakukan sebagai
wanita masa kini adalah perubahan. Emansipasi tetap dilanjutkan dengan kultur
dan rasa kebangsaan. Sejatinya image
pria sebagai sentral tidak bisa dihilangkan sampai kapanpun. Ambil yang baik,
tinggalkan yang buruk. Gapailah cita-cita bukan dengan kebebasan bukan karena
individual, tapi sebagai motivasi bahwa kita kaum Hawa pun bisa! Semangat untuk
generasi wanita tangguh, cerdas, dengan kepribadian luhur bangsa Indonesia :)
Selasa, 09 April 2013
Pal or Rival
I see you such as a pal.
You see me such as a rival.
Antara pal (kawan) atau rival (lawan). Mari kita bedakan dulu antara pal dan rival.
So, kalo nemu pal (baca: rival) seperti ini, langkah kamu:
*efek draft skripsi belum kelar jadi nulis gaje
You see me such as a rival.
Antara pal (kawan) atau rival (lawan). Mari kita bedakan dulu antara pal dan rival.
- Pal memiliki banyak sekali definisi. Baiklah, saya akan mengambil intinya. Pal adalah orang yang mengenal kita bukan hanya karena intensitas pertemuan, tapi karena kecocokan jiwa #jiahh. Yah, kecocokan jiwa alias nyambung.
- Rival adalah orang yang bersaing dengan kita secara terang-terangan maupun gelap-gelapan #lho?? Maksudnya secara diam-diam. Nah yang diam-diam ini paling gak enak.
- Ia bilang: "Waahh tas kamu unik ya (sambil memegang tasnya yang merek Channel gak pake KW)". Padalah tas kamu biasa aja.
- Ia bilang: "Kamu TOEFL nya bagus kan, ajarin dunk soalnya aku mau lanjut kuliah di Harvard atau di mana deh di Amrik gituuuu". Padahal kamu juga gak jago-jago amat TOEFL.
- Ia bilang: "Duuhh bisa gak sich ortu ngirimin duit gak usah banyak-banyak, duit Rp 10juta perminggu gak tega ngabisinnya."
So, kalo nemu pal (baca: rival) seperti ini, langkah kamu:
- Senyum
- Abaikan
- Bilang: "cuyy jangan ngabisin duit ortu gitu dunk, minta mulu !!"
*efek draft skripsi belum kelar jadi nulis gaje
Langganan:
Postingan (Atom)